KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kendali bisnis umrah kini di tangan pemerintah. Lewat Peraturan Menteri Agama Nomor 8/2018 tentang Penyelengaraan Perjalanan Ibadah Umrah, Kementerian Agama (Kemnag) akan memperketat bisnis biro umrah. Aturan yang diundangkan pada 13 Maret 2018 itu, misalnya, mewajibkan semua Penyelenggara Perjalanan Ibadan Umroh (PPIU) menjalani akreditasi. Proses tersebut akan dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah. Sertifikat akreditasi pun hanya berlaku tiga tahun. Setelah tiga tahun, biro umrah wajib mengikuti proses akreditasi lagi.
Akreditasi ini akan menjadi sarana menilai kelayakan dan kualitas biro umrah. Jika mendapat nilai akreditasi D, Kemnag akan mencabut izin operasional biro umrah. Selain akreditasi, pemerintah akan menetapkan referensi biaya umrah secara berkala. Tarif referensi ini merupakan patokan tarif terendah untuk memenuhi seluruh biaya pelayanan jamaah yang layak. Nizar Ali, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemnag, mengatakan, penetapan biaya referensi bertujuan mencegah perang tarif. "Jangan sampai jamaah jadi korban karena perang tarif," kata Nizar kepada Kontan.co.id, kemarin (27/3). Untuk saat ini, biaya referensi umrah ditetapkan sebesar Rp 20 juta per jemaah. Jika menetapkan tarif di bawah referensi, biro umrah wajib melaporkan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah terkait alasannya. Nizar menambahkan, pemerintah juga menerapkan batas waktu maksimal pemberangkatan jamaah yaitu enam bulan setelah pendaftaran. Biaya pelunasan juga hanya boleh diterima biro umrah tiga bulan sebelum keberangkatan.
Pemerintah juga menerapkan sistem wajib lapor elektronik sebagai pengawasan terhadap biro umrah. Sanksi peringatan tertulis sampai pencabutan izin akan dijatuhkan bagi biro umrah yang tak mematuhi ketentuan itu. Nizar mengakui, regulasi ini untuk mempersempit ruang gerak biro umrah nakal. "Kami juga melibatkan kantor wilayah, staf teknisi haji di Jeddah untuk ikut mengawasi," katanya. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, pengawasan ketat saja tidak cukup. Idealnya, pemerintah juga harus memaksa biro umrah membuat rekening bersama. "Itu sebagai jaminan bagi konsumen, sehingga uang tidak jadi milik PPIU," katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi