Bisnis wisata berburu pun jadi buruan



Maraknya hobi berburu menggairahkan bisnis wisata berburu. Para pemain terus berekspansi. Mereka tak cuma membidik para pemburu profesional, tapi juga menawarkan wisata ini kepada para pemburu awam untuk menguji adrenalin. Belakangan ini, aktivitas berburu kembali populer. Tak hanya menjadi cabang olahraga, berburu juga menjadi bagian dari gaya hidup kalangan tertentu. Tak heran, ada sebuah stasiun televisi di Indonesia yang memiliki program rutin menayangkan kegiatan berburu. Sayang, bagi para peminatnya, tak mudah menyalurkan hobi yang satu ini. Selain urusan legalitas yang rumit terkait area menggunakan senjata, berburu hanya asyik dilakukan di hutan atau area lain yang masih banyak binatang buruan. Inilah peluang yang ditangkap oleh sejumlah orang dari munculnya tren berburu. Agus Sofyan, misalnya. Pemilik agen wisata di Kendari, Sulawesi Tengah, ini menawarkan paket berburu di sejumlah hutan liar di Gorontalo dan Morowali. Dengan bendera Hunter Expedition Camp, Agus menawarkan paket wisatanya, baik untuk pemburu profesional atau pemburu awam atau pemula. Khusus untuk pemburu awam yang bukan anggota Perbakin, Agus terlebih dulu membekali mereka pelatihan dasar menembak yang selesai dalam sehari. Jika lulus, pengunjung dapat langsung mengantongi sertifikat dari Perbakin. Paket wisata ini dipatok dengan harga US$ 400 per orang. Hanya, Agus baru mengadakan perjalanan berburu jika terdapat minimal lima peserta. Tentu saja, harga tersebut belum termasuk biaya pelatihan dan perolehan sertifikat bagi pemula. Dengan ongkos sebesar itu, Hunter Expedition Camp akan memberikan sejumlah fasilitas selama tiga hari berburu. Fasilitas itu antara lain senjata dan amunisi, tenda berburu, transportasi, juru pandu profesional, makanan dan minuman selama berburu, sertifikat hingga asuransi. Dalam perburuan, Agus hanya mengizinkan untuk menembak hama babi hutan. Di luar itu, Agus juga menawarkan paket berburu selama satu pekan dengan tarif Rp 11 juta per orang. Agar menarik peminat, Agus menyisipkan wisata budaya dan ekologi dalam tur berburu ini. Peserta wisata diajak mendatangi suku pedalaman di Morowali dan Gorontalo. Peserta juga diberikan bibit pohon gratis plus sertifikat atas pohon tersebut. “Selain punya tujuan ekologis, strategi ini sukses memancing turis untuk datang lagi,” ujarnya.Sejak membuka layanan wisata berburu dua tahun lalu, Agus bilang, peminat cukup tinggi. Rata-rata peminat wisata berburu merupakan turis asing dari Eropa yang singgah di Bali. Dalam sepekan selalu ada rombongan turis yang menggunakan jasa agen wisatanya. Jumlah kunjungan tahun ini pun meningkat karena Hunter Expedition Camp juga makin terkenal di Bali. Maklum, Agus memanfaatkan jaringan agen wisata di Pulau Dewata untuk mempromosikan jasanya. Soal keuntungan, Agus bilang, bisa mendapat untung bersih hingga 20% dari tarif. Berburu singkatMaraknya hobi berburu juga dinikmati Budi Darsono, pemilik Cikidang Hunting Resort. Tingkat kunjungan ke lokasi perburuan yang ditawarkannya cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir. “Tiap hari, selalu datang lima hingga 10 pemburu,” kata Bobby Handoko, Manager PT Kidang Gesit Perkasa, perusahaan induk Cikidang Hunting Resort. Berbeda dengan Agus, Budi mendirikan sebuah kawasan khusus berburu di atas hutan seluas 13 hektare yang terletak di Desa Pangkalan, Kecamatan Cikidang, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Selain area berburu, pengelola resort juga menyediakan fasilitas pendukung seperti vila dan restoran untuk memasak hasil buruan. Keluarga pun bisa turut serta.Karena area sekaligus binatang buruan sudah disediakan, para pemburu pun bisa menyingkat waktu. Kegiatan berburu dapat dilakukan dalam hitungan jam. Alhasil, ongkosnya juga lebih miring.Bobby bilang, biasanya setiap pengunjung hanya perlu merogoh kocek Rp 1,7 juta per hari. Biaya tersebut termasuk untuk menyewa vila dan peralatan, seperti senapan dan amunisi seharga Rp 200.000 per jam, kendaraan Rp 600.000 per jam, dan membayar uang ganti binatang buruan. Pengelola mematok harga hewan bervariasi. Mulai dari Rp 300.000 untuk binatang kecil seperti kelinci, bebek, dan ayam. Sedangkan untuk memburu kambing hutan atau babi hutan, pengunjung harus merogoh kocek Rp 800.000 hingga Rp 2 juta per ekor. Pemula yang bukan anggota Perbakin bisa datang dan berburu tanpa mengurus izin lantaran lokasi berburu merupakan milik pribadi. Selain itu, segala perlengkapan disediakan, termasuk kru pendamping berburu. Sayang, Bobby enggan menyebut penghasilan dari usaha ini. Namun, paket wisata ini cukup mendukung usaha utama, berupa penjualan vila dan kebun sawit. Melihat respons pasar cukup baik, sejak tahun lalu, pengelola memindahkan area berburu ke lokasi baru yang lebih nyaman. Luas lokasi anyar tersebut mencapai 50 hektare. Jika semula hanya terdapat lima vila bambu sebagai shelter pemburu, saat ini pengelola telah menyediakan 50 kamar yang dapat menampung sekitar 250 pengunjung sekaligus. Bahkan, kini, PT Kidang Gesit Perkasa tengah melebarkan sayapnya hingga ke Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Kebetulan, perusahaan itu memang punya tanah dan proyek perkebunan di daerah itu. Di sini, target yang dibidik adalah para turis asing yang sedang ke Bali. “Respons di Bali pasti lebih bagus karena di luar negeri berburu sudah seperti gaya hidup,” imbuh Bobby.     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi