JAKARTA. Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro menilai, alokasi dana subsidi sebesar Rp 260 triliun sepanjang tahun lalu merupakan salah pengeluaran. Menurutnya, sebagian dana tersebut lebih tepat dipakai untuk pembangunan infrastruktur termasuk kilang.Bambang mengatakan, anggaran subsidi sebaiknya dibatasi Rp 100 triliun saja. "Sisanya sebanyak Rp 80 triliun dipakai untuk subsidi tepat sasaran seperti membangun rumah murah dan perbaikan angkutan umum dan Rp 80 triliun lagi untuk membangun kilang,” kata Bambang, Rabu (6/6).Ia menghitung, alokasi dana penghematan subsidi selama dua tahun sudah cukup untuk membangun satu unit kilang. Mekanismenya, pemerintah bisa menugaskan PT Pertamina membangun kilang melalui penyertaan modal negara (PMN).Namun, pemerintah belum bisa memastikan kapan mekanisme tersebut dimulai. Dia mengaku, belum membahas rencana subsidi tahun depan untuk bisa memastikan penyertaan dana pemerintah dalam pembangunan kilang.Dengan carai ini, Bambang yakin Indonesia tak perlu lagi membangun kilang dengan bergantung kepada investor. Pasalnya, ia mengaku investor yang saat ini berminat untuk membangun kilang bekerja sama dengan PT Pertamina terlalu banyak mengajukan insentif.Adapun sejumlah insentif yang diminta investor antara lain adalah tax holiday yang lebih lama, pajak penghasilan (Pph) di bawah normal atau hanya 5%, pembebasan pajak daerah, dan harga BBM dikenakan bea masuk. "Jika pemerintah mengabulkan insentif ini, maka banyak banyak investor akan meminta hal yang sama," terang Bambang.Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mendesak pemerintah untuk mempercepat pembangunan kilang baru. Caranya, pemerintah membangun sendiri kilang tersebut atau menjadi fasilitator sehingga investor mau membangunnya. “Kalau serius ingin bangun, harus ada penugasa kepada Pertamina dan dana pembangunan kilang harus masuk dalam APBN,” tegas dia.Saat ini, banyak proyek yang jalan di tempat karena tidak masuk APBN. Jika dimasukkan ke anggaran, maka pembangunan kilang akan dikawal oleh DPR. Seperti konversi minyak tanah ke elpiji yang tidak masuk roadmap ketahanan energi tetapi masuk APBN sehingga bisa sukses. Atau, bisa meniru program percepatan 10 ribu megawatt (MW) yang dibangun melalui penugasan dan pemberian jaminan.Menurutnya, pembangunan kilang jangan hanya dinilai dari untung rugi semata, harus mempertimbangkan ketahanan energi nasional. Pertamina tidak mungkin menyelesaikan pembangunan kilang sendiri karena sudah korporasi. Sementara jika dibiarkan seperti selama ini, dia pesimis akan ada kilang baru di Indonesia.Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan mengatakan, saat ini Pertamina masih melakukan negosiasi dengan pihak Kuwait Petroleum dan Saudi Aramco untuk pembangunan kilang beserta dengan pasokan minyak mentahnya. "Kami sedang negosiasi dengan Kuwait dan Petroleum 600.000 barel masing-masing 300.000 barel," tutur Karen. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
BKF: Sebaiknya dana subsidi untuk membangun kilang
JAKARTA. Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro menilai, alokasi dana subsidi sebesar Rp 260 triliun sepanjang tahun lalu merupakan salah pengeluaran. Menurutnya, sebagian dana tersebut lebih tepat dipakai untuk pembangunan infrastruktur termasuk kilang.Bambang mengatakan, anggaran subsidi sebaiknya dibatasi Rp 100 triliun saja. "Sisanya sebanyak Rp 80 triliun dipakai untuk subsidi tepat sasaran seperti membangun rumah murah dan perbaikan angkutan umum dan Rp 80 triliun lagi untuk membangun kilang,” kata Bambang, Rabu (6/6).Ia menghitung, alokasi dana penghematan subsidi selama dua tahun sudah cukup untuk membangun satu unit kilang. Mekanismenya, pemerintah bisa menugaskan PT Pertamina membangun kilang melalui penyertaan modal negara (PMN).Namun, pemerintah belum bisa memastikan kapan mekanisme tersebut dimulai. Dia mengaku, belum membahas rencana subsidi tahun depan untuk bisa memastikan penyertaan dana pemerintah dalam pembangunan kilang.Dengan carai ini, Bambang yakin Indonesia tak perlu lagi membangun kilang dengan bergantung kepada investor. Pasalnya, ia mengaku investor yang saat ini berminat untuk membangun kilang bekerja sama dengan PT Pertamina terlalu banyak mengajukan insentif.Adapun sejumlah insentif yang diminta investor antara lain adalah tax holiday yang lebih lama, pajak penghasilan (Pph) di bawah normal atau hanya 5%, pembebasan pajak daerah, dan harga BBM dikenakan bea masuk. "Jika pemerintah mengabulkan insentif ini, maka banyak banyak investor akan meminta hal yang sama," terang Bambang.Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mendesak pemerintah untuk mempercepat pembangunan kilang baru. Caranya, pemerintah membangun sendiri kilang tersebut atau menjadi fasilitator sehingga investor mau membangunnya. “Kalau serius ingin bangun, harus ada penugasa kepada Pertamina dan dana pembangunan kilang harus masuk dalam APBN,” tegas dia.Saat ini, banyak proyek yang jalan di tempat karena tidak masuk APBN. Jika dimasukkan ke anggaran, maka pembangunan kilang akan dikawal oleh DPR. Seperti konversi minyak tanah ke elpiji yang tidak masuk roadmap ketahanan energi tetapi masuk APBN sehingga bisa sukses. Atau, bisa meniru program percepatan 10 ribu megawatt (MW) yang dibangun melalui penugasan dan pemberian jaminan.Menurutnya, pembangunan kilang jangan hanya dinilai dari untung rugi semata, harus mempertimbangkan ketahanan energi nasional. Pertamina tidak mungkin menyelesaikan pembangunan kilang sendiri karena sudah korporasi. Sementara jika dibiarkan seperti selama ini, dia pesimis akan ada kilang baru di Indonesia.Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan mengatakan, saat ini Pertamina masih melakukan negosiasi dengan pihak Kuwait Petroleum dan Saudi Aramco untuk pembangunan kilang beserta dengan pasokan minyak mentahnya. "Kami sedang negosiasi dengan Kuwait dan Petroleum 600.000 barel masing-masing 300.000 barel," tutur Karen. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News