JAKARTA. Guna mendorong pertumbuhan industri dan daya saing nasional, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) akan berkoordinasi dengan Kementrian Perindustrian dan kalangan industri pengguna gas untuk mengkaji harga gas. Kepala BKMP Franky Sibarani mengungkapkan, efisiensi harga gas merupakan salah satu komponen yang dipertimbangkan sebagai salah satu insentif yang dapat diberikan guna meningkatkan daya saing industri nasional. "Kami akan berkoordinasi dengan Menteri Perindustrian untuk merealisasikan hal tersebut,” ujar Franky dalam keterangan resmi, Sabtu (5/9). Franky menambahkan, dari pertemuan antara BKPM dan Forum Industri Pengguna Gas, Senin (31/8), salah satu isu yang mengemuka dalam pertemuan tersebut yakni potensi peningkatan daya saing industri melalui efisiensi harga gas. BKPM akan mengkaji lebih dalam dampak efisiensi harga gas terhadap daya saing industri serta mekanisme yang memungkinkan efisiensi tersebut dapat dilakukan. Harga gas berkontribusi cukup besar dalam komponen biaya produksi. Untuk industri keramik, penggunaan gas memberikan porsi 30% dari biaya produksi, petrokimia 10%, industri kaca 30%-35%, industri baja 30%-35%, dan industri pupuk sebesar 80%. "Apabila efisiensi harga gas dapat diberikan, daya saing industri-industri tersebut tentu akan meningkat," ujarnya. Bahkan industri pengguna gas di Sumatera Utara menyatakan, mengalami kesulitan dalam menjalankan kegiatan operasional karena kenaikan harga gas yang cukup tinggi yakni sebesar US$14 per mmbtu, naik dari sebelumnya US$8,7 per mmbtu. Ketua Asosiasi Perusahaan Pemakai Gas (Apigas) Sumut, Johan Brien mengungkapkan, secara head to head, harga gas di Sumut jauh di atas Malaysia dan Singapura. Di dua negara itu, harga gas untuk industri paling mahal US$ 3,8 per mmbtu. Dia juga menyatakan, kenaikan harga gas hingga dua kali lipat tersebut menjadikan biaya produksi melonjak signifikan, khususnya untuk industri-industri keramik dan sarung tangan yang memang membutuhkan banyak gas. Akibatnya, industri lokal sulit bersaing di pasar apalagi produk keramik impor terus masuk ke pasar lokal dengan harga yang lebih murah.
BKPM kaji insentif harga gas untuk industri
JAKARTA. Guna mendorong pertumbuhan industri dan daya saing nasional, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) akan berkoordinasi dengan Kementrian Perindustrian dan kalangan industri pengguna gas untuk mengkaji harga gas. Kepala BKMP Franky Sibarani mengungkapkan, efisiensi harga gas merupakan salah satu komponen yang dipertimbangkan sebagai salah satu insentif yang dapat diberikan guna meningkatkan daya saing industri nasional. "Kami akan berkoordinasi dengan Menteri Perindustrian untuk merealisasikan hal tersebut,” ujar Franky dalam keterangan resmi, Sabtu (5/9). Franky menambahkan, dari pertemuan antara BKPM dan Forum Industri Pengguna Gas, Senin (31/8), salah satu isu yang mengemuka dalam pertemuan tersebut yakni potensi peningkatan daya saing industri melalui efisiensi harga gas. BKPM akan mengkaji lebih dalam dampak efisiensi harga gas terhadap daya saing industri serta mekanisme yang memungkinkan efisiensi tersebut dapat dilakukan. Harga gas berkontribusi cukup besar dalam komponen biaya produksi. Untuk industri keramik, penggunaan gas memberikan porsi 30% dari biaya produksi, petrokimia 10%, industri kaca 30%-35%, industri baja 30%-35%, dan industri pupuk sebesar 80%. "Apabila efisiensi harga gas dapat diberikan, daya saing industri-industri tersebut tentu akan meningkat," ujarnya. Bahkan industri pengguna gas di Sumatera Utara menyatakan, mengalami kesulitan dalam menjalankan kegiatan operasional karena kenaikan harga gas yang cukup tinggi yakni sebesar US$14 per mmbtu, naik dari sebelumnya US$8,7 per mmbtu. Ketua Asosiasi Perusahaan Pemakai Gas (Apigas) Sumut, Johan Brien mengungkapkan, secara head to head, harga gas di Sumut jauh di atas Malaysia dan Singapura. Di dua negara itu, harga gas untuk industri paling mahal US$ 3,8 per mmbtu. Dia juga menyatakan, kenaikan harga gas hingga dua kali lipat tersebut menjadikan biaya produksi melonjak signifikan, khususnya untuk industri-industri keramik dan sarung tangan yang memang membutuhkan banyak gas. Akibatnya, industri lokal sulit bersaing di pasar apalagi produk keramik impor terus masuk ke pasar lokal dengan harga yang lebih murah.