Blockchain belum dilirik oleh Ditjen Pajak



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belakangan, teknologi blockchain menjadi pembicaraan banyak pihak lantaran menjanjikan transparansi karena diklaim tidak bisa diretas. Teknologi yang lahir pada tahun 2009 ini hadir dengan mengubah pendekatan yang sentralistik menjadi terdesentralisasi.

Teknologi blockchain muncul sebagai respons atas kekhawatiran sejumlah pihak terhadap cara kerja software yang selama ini tersentralisasi. Simpelnya, dalam teknologi ini, setiap server yang menjalankan software membentuk jaringan secara otomatis untuk saling mereplikasi data transaksi dan saling memverifikasi datanya.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, dengan fitur yang dimiliki teknologi blockchain, penggunaan teknologi ini dalam perpajakan merupakan langkah yang tepat. Sebab, dapat memberikan transparansi dalam setiap transaksi.


Terlebih, hingga kini masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memahami proses pelaporan dan pembayaran pajak. Oleh karena itu, perlu simplifikasi yang salah satunya dapat dicapai dengan penggunaan blockchain.

“Bagi masyarakat yang penting transparan. Dulu kan pakainya MySQL. Pada umumnya orang Indonesia mau bayar pajak. Sekarang bagaimana dipermudahnya, terutama untuk korporasi,” ujar Rudiantara di Jakarta, Jumat (27/4)

Dengan sistem perpajakan yang transparan dan efisien, ia berharap tax ratio Indonesia bisa naik, begitu juga jumlah wajib pajak (WP). “Dan teknologi ini harus digunakan sebanyak mungkin oleh otoritas pajak,” katanya.

Meski begitu, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menyatakan, belum akan menerapkan teknologi blockchain dalam proses bisnis di Ditjen Pajak, meskipun saat ini teknologi blockchain sudah diadopsi aplikasi milik perusahaan start-up, OnlinePajak.

“Teknologi blockchain belum akan diterapkan di Ditjen Pajak. Kami masih fokus ke pembenahan sistem coretax dan data governance,” ujar Direktur Transformasi Teknologi Informasi dan Komunikasi Ditjen Pajak Iwan Djuniardi kepada KONTAN, Jumat (27/4).

“Kami masih harus mengkaji lebih seksama lagi, pro dan kontra jika teknologi blockchain akan diterapkan di administrasi perpajakan,” lanjut Iwan.

Meski demikian, Ditjen Pajak akan segera memiliki sistem perpajakan terpadu atau coretax yang baru. Menurut Iwan, dengan sistem yang bakal dibeli usai Perpres pengadaannya diteken oleh Presiden Jokowi, kemungkinan peretasan akan lebih minim daripada coretax yang dimiliki sekarang.

Founder dan Direktur OnlinePajak Charles Guinot menyatakan, keamanan data pengguna aplikasinya terjamin dengan diadopsinya teknologi ini. Charles menjelaskan,  dalam sistem perpajakan terdapat sejumlah pihak yang terlibat, antara lain Ditjen Pajak, Direktoral Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Bank Indonesia, bank persepsi, dan pihak ketiga lainnya seperti jasa penyedia aplikasi ataupun kantor pos.

Proses di antara pihak-pihak ini terbilang cukup rumit dan rentan terhadap kesalahan dan kurang transparan, baik dari segi aliran informasi maupun dananya, karena keterbatasan sistem informasi dan teknologi yang dipakai oleh berbagai pihak maupun sinergi antar sistem tersebut.

Di saat-saat mendekati tenggat waktu, banyak pula orang mengakses fasilitas pembayaran pajak secara bersamaan. Permasalahan yang sangat sering terjadi adalah mengenai kapasitas server yang terbatas. Hal ini yang menyebabkan seluruh proses aliran pembayaran pajak menjadi sulit untuk disesuaikan kapasitasnya sesuai dengan kebutuhan yang tiba-tiba meningkat maupun berkurang.

Karena sifatnya yang transparan, permanen, dan harus divalidasi secara konsensus, teknologi blockchain menjadikan setiap transaksi yang melibatkan pihak-pihak itu menjadi lebih akurat, cepat, transparan, aman dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

“Masing-masing pihak akan memiliki catatan dari setiap proses dan dapat saling mengecek keberlangsungan pembayaran pajak. Namun data wajib pajak dapat tetap dijamin kerahasiaannya karena kita tetap dapat memilih data-data apa saja yang akan dimasukkan dalam jaringan yang kita buat,” papar Charles.

Probabilitas diretas kecil

Anggota Komite Asosiasi Blockchain Indonesia Steven Suhadi mengatakan, blockchain memang lebih kecil kemungkinannya untuk diretas ketimbang teknologi yang memiliki pendekatan sentralistik. Sebab, teknologi ini terdiri atas blok-blok yang sulit diretas.

Jika ada peretas, maka harus meretas blok-blok sebelumnya untuk bisa bisa mengambil data di satu blok yang lain. “Bukan berarti tidak mungkin diretas, tapi probabiliasnya kecil sekali,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini