Salah satu ambisi Presiden Joko Widodo adalah memperkuat
cashless society, salah satunya dengan menambah laju ekosistem teknologi keuangan alias fintech. Tetapi, bangsa ini selalu memble soal mengadopsi teknologi baru, yang menambah efisien sebuah proses, yakni teknologi
blockchain. Blockchain adalah teknologi dasar mata uang virtual (MUV) bitcoin dan diadopsi oleh mata uang virtual lainnya seperti ether, litecoin, dan ratusan uang virtual lainnya. Sebagai penopang aset digital,
blockchain tidak hanya untuk membuat mata uang virtual, tetapi bisa untuk membuat kontrak digital, klaim hak cipta musik, sistem manajemen suplai, bank settlement dan ribuan kemungkinan lain selama berwujud digital. Blockchain memungkinkan data dan informasi disimpan dan ditransfer bukan di server tapi dalam jaringan
blockchain secara
peer-to-peer (antar simpul pengguna) dan desentralistik. Data lebih aman, karena salinannya secara transparan dapat dilihat dan divalidasi oleh partisipan di dalam jaringan secara anonim. Peretas tidak memungkinkan memanipulasi data atau informasi, karena data secara instan tersebar di semua simpul jaringan blockchain yang terenkripsi. Semua simpul pun berperan satu sama lain.
Secara umum, menurut Melanie Swan di Blockchain (2015), blockchain adalah buku besar (
ledger) transparan yang desentralistik. Rekaman transaksi, yaitu berupa database yang dibagikan ke semua simpul (node) jaringan, dimutakhirkan oleh miner (penambang), diawasi oleh segenap partisipan, dan tidak dimiliki serta tidak dikendalikan oleh siapapun. Blockchain ibarat
spreadsheet interaktif raksasa yang memungkinkan setiap orang mengakses dan memutakhirkan serta mengonfirmasi transaksi digital di dalamnya. Mengingat blockchain bersistem sumber terbuka (
open source), ia dapat dengan mudah dimodifikasi untuk kebutuhan strategis lainnya. Dengan mengembangkan sistem blockchain tersendiri, penyedia dapat menjualnya sebagai produk jasa ke pengguna. IBM dan Microsoft adalah dua dari banyak perusahaan yang sedia layanan blockchain sebagai jasa (Blockchain-as-a-Services/BaaS). Dalam World Economic Forum 2016, blockchain didaulat sebagai satu dari sepuluh
emerging technologies dan punya potensi besar mengubah cara manusia mengolah data dan informasi. Malaysia lebih siap Banyak negara dan perusahaan sudah mengadopsi blockchain. Selain Amerika Serikat dan negara Eropa lain, ada Jepang, Singapura dan Malaysia yang sangat serius menggarap blockchain. Jepang mengadopsi blockchain untuk meningkatkan jumlah remitansi. Singapura yang sangat ramah soal bisnis keuangan, mengizinkan berdirinya perusahaan blockchain. Indonesia agaknya kurang cepat, khususnya soal mengurus uang. Utang Jepang bisa lebih besar berbanding dengan Indonesia, tetapi soal manajemen, Jepang lebih mantap. Demikian pula Singapura, sejak negara pulau itu berdiri, mereka telah menetapkan diri sebagai hub keuangan dunia. Belum lama ini NEM, perusahaan blockchain yang berbasis di Singapura bekerjasama dengan Malaysia mendirikan Blockchain Center seluas 3.000 m² di Kuala Lumpur. NEM menyediakan infrastruktur blockchain agar dapat digunakan bagi perusahaan rintisan di negara itu. Sebagai rumah bagi NEM Blockchain Innovation Lab, fasilitas itu juga dimanfaatkan sebagai pusat inkubator, akselerator dan co-working space bagi perusahaan rintisan di kawasan Asia Tenggara. Tidak hanya bagi perusahaan rintisan, NEM Blockchain Innovation Lab juga ditujukan untuk menjaring klien dari sektor perusahaan yang ingin menggunakan platform blockchain NEM. Inisiatif tersebut hasil kerjasama NEM Foundation dan perusahaan Australia, Blockchain Global. NEM Foundation tentu punya alasan kuat menancapkan pengaruhnya di Malaysia sebab ekosistem teknologi keuangan dan blockchain di Malaysia cukup dewasa, setidaknya selama satu tahun belakangan ini. Ada beragam seminar, diskusi, dan lokakarya tentang mata uang virtual dan blockchain diselenggarakan di negara itu. Di Malaysia ada Industry-Government Group for High Technology (MiGHT) yang berperan besar mendukung dan mengembangkan program berteknologi tinggi. MiGHT bermitra dengan Bloktex, sebuah perusahaan blockchain di Malaysia guna mengembangkan strategi khusus soal adopsi blockchain di sektor industri. MiGHT menjadi jembatan bagi Bloktex untuk menyediakan jasa pengamanan komputer server di berbagai perusahaan.
Melalui penetrasi teknologi blockchain milik NEM, secara politis Pemerintah Malaysia secara terbuka menyokong pengembangan blockchain di negara mereka agar berfaedah secara ekonomi. Malaysia paham soal efisiensi yang muncul dari teknologi tersebut, misalnya mempercepat transfer uang atau menciptakan blockchain khusus untuk melindungi hak cipta musik, sehingga karya musisi dapat disebarkan langsung dari si pencipta, yang tak memungkinkan pengguna melakukan co-pas. Ide seperti ini memungkinkan, karena algoritma blockchain yang berbasis kriptografi meniadakan double spending atas file digital. Blockchain NEM juga digunakan oleh start up Jepang, yakni Tech Bureau yang mengusung blockchain komersial bernama Mijin dan sudah diujicobakan di Hitachi, Infoteria, dan bank (Sumishin Net Bank). Selain itu, ada Dragonfly Fintech yang fokus pada klien dari kalangan perbankan agar lebih mudah dalam settlement dan aktivitas clearing house. Juga disediakan platform instant liquidity Real Time Transaction Settlement (RTTS) sebagai alternatif RTGS. Di masa depan, pertarungan teknologi blockchain diperkirakan kian sengit, sebab setiap hari pemainnya semakin ramai, menawarkan beragam solusi yang menjanjikan. Satu hal yang pasti dunia sulit menolak blockchain sebagai solusi alternatif nan efektif dalam teknologi komunikasi informasi kelas wahid. Di sisi lain political will sebuah negara adalah wajib, dengan membuka ruang seluas-luasnya terhadap gagasan baru serta menempatkan regulasi khusus sebagai acuan bersama. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi