JAKARTA. Bank Negara Indonesia (BNI) dan Garuda Indonesia menjadi dua badan usaha milik negara (BUMN) pertama yang melakukan transaksi lindung nilai (hedging). Garuda memperoleh kredit dalam mata uang rupiah, sedangkan kebutuhan dan pendapatannya dalam mata uang dollar AS, sehingga terdapat potensi mismatch arus kas. Untuk mitigasi terhadap risiko fluktuasi nilai tukar atas mismatch tersebut, BNI dan Garuda sepakat melakukan transaksi lindung nilai berupa Cross Currency Swap (CCS) senilai Rp 500 miliar dengan jangka waktu tiga tahun, atas pokok utang dan bunga pinjaman. Dimulainya kesepakatan kerja sama ini ditandai melalui acara Penyerahan Secara Simbolis Dokumen Perjanjian ISDA dari Head of Treasury BNI, A. Bimo Notowidigdo kepada VP Treasury Management Garuda, Mega Satria di Jakarta, Rabu (25/6). Hadir pada kesempatan tersebut Direktur Tresuri & IF BNI Suwoko Singoastro, Direktur Risiko BNI Sutanto, Direktur Keuangan Garuda Indonesia Handrito Hardjono, Staf Ahli Kementerian BUMN Sahala Lumban Gaol, dan Direktur Eksekutif Ketua Task Force Pendalaman Pasar Keuangan Bank Indonesia (BI) Treesna W Suparyono. Transaksi lindung nilai ini mendesak untuk dilakukan mengingat ketidakpastian di pasar keuangan internasional yang dapat memberi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Adanya ekspektasi bahwa Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve akan menaikkan suku bunga kebijakan (Fed Funds) sehingga ada potensi penarikan keluar dana valas dari emerging markets. Oleh sebab itu, dalam rangka menghadapi kemungkinan terjadinya peningkatan volatilitas nilai tukar rupiah akibat repatriasi laba oleh investor asing tersebut, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menghimbau agar BUMN dan perusahaan swasta melakukan transaksi lindung nilai (hedging). Himbauan Gubernur BI ini disampaikan mengingat Indonesia memiliki pinjaman luar negeri sekitar US$ 276,6 miliar per April 2014, dan sebanyak 25% dari utang luar negeri swasta belum dilakukan lindung nilai. Suwoko mengatakan bahwa Task Force Stabilisasi Valas BUMN, yang terdiri dari BI, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Bank BUMN dan beberapa perusahaan BUMN telah aktif mengkaji potensi transaksi lindung nilai.
BNI dan Garuda lakukan hedging kredit Rp500 miliar
JAKARTA. Bank Negara Indonesia (BNI) dan Garuda Indonesia menjadi dua badan usaha milik negara (BUMN) pertama yang melakukan transaksi lindung nilai (hedging). Garuda memperoleh kredit dalam mata uang rupiah, sedangkan kebutuhan dan pendapatannya dalam mata uang dollar AS, sehingga terdapat potensi mismatch arus kas. Untuk mitigasi terhadap risiko fluktuasi nilai tukar atas mismatch tersebut, BNI dan Garuda sepakat melakukan transaksi lindung nilai berupa Cross Currency Swap (CCS) senilai Rp 500 miliar dengan jangka waktu tiga tahun, atas pokok utang dan bunga pinjaman. Dimulainya kesepakatan kerja sama ini ditandai melalui acara Penyerahan Secara Simbolis Dokumen Perjanjian ISDA dari Head of Treasury BNI, A. Bimo Notowidigdo kepada VP Treasury Management Garuda, Mega Satria di Jakarta, Rabu (25/6). Hadir pada kesempatan tersebut Direktur Tresuri & IF BNI Suwoko Singoastro, Direktur Risiko BNI Sutanto, Direktur Keuangan Garuda Indonesia Handrito Hardjono, Staf Ahli Kementerian BUMN Sahala Lumban Gaol, dan Direktur Eksekutif Ketua Task Force Pendalaman Pasar Keuangan Bank Indonesia (BI) Treesna W Suparyono. Transaksi lindung nilai ini mendesak untuk dilakukan mengingat ketidakpastian di pasar keuangan internasional yang dapat memberi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Adanya ekspektasi bahwa Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve akan menaikkan suku bunga kebijakan (Fed Funds) sehingga ada potensi penarikan keluar dana valas dari emerging markets. Oleh sebab itu, dalam rangka menghadapi kemungkinan terjadinya peningkatan volatilitas nilai tukar rupiah akibat repatriasi laba oleh investor asing tersebut, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menghimbau agar BUMN dan perusahaan swasta melakukan transaksi lindung nilai (hedging). Himbauan Gubernur BI ini disampaikan mengingat Indonesia memiliki pinjaman luar negeri sekitar US$ 276,6 miliar per April 2014, dan sebanyak 25% dari utang luar negeri swasta belum dilakukan lindung nilai. Suwoko mengatakan bahwa Task Force Stabilisasi Valas BUMN, yang terdiri dari BI, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Bank BUMN dan beberapa perusahaan BUMN telah aktif mengkaji potensi transaksi lindung nilai.