BNI: Merger BNI-Mandiri bisa jadi mimpi buruk



JAKARTA. Wacana penggabungan dua bank BUMN kembali menghangat. Isu merger dua bank pelat merah ini kembali bergulir setelah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil dan Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro melempar kembali wacana merger BNI-Mandiri.

Direktur Keuangan PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk Yap Tjay Soen mengungkapkan, merger antar bank BUMN lebih banyak risikonya ketimbang manfaat yang akan didapat.

Pertama yaitu untuk melakukan merger akan sangat kompleks, lantaran masing-masing bank pelat merah tersebut sudah menjadi perusahaan terbuka (Tbk). Artinya, terdapat pemegang saham lain selain pemegang saham pengendali yakni pemerintah, yang juga patut dipertimbangkan keberadaannya.

Selain itu, dari sisi kapitalisasi pasar atau market capitalization, perbankan Indonesia tidak kalah kuat dibandingkan dengan perbankan asing. Yap mencontohkan, kapitalisasi pasar bank BUMN Tanah Air diantaranya BRI sebesar US$ 22,79 miliar, Bank Mandiri sebesar US$ 20,77 miliar dan BNI sebesar US$ 9,52 miliar.

Sedangkan kapitalisasi pasar bank asing seperti bank asal Singapura yaitu DBS US$ 38,31 miliar, OCBC sebesar US$ 33,51 miliar dan CIMB sebesar US$ 11,18 miliar. 

"Kenapa harus takut dengan bank asing di luar negeri, padahal kapitalisasi pasar bank Indonesia ada yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank asing," ucap Yap di Jakarta, Kamis (5/2).

Lebih lanjut Yap menuturkan, terkait dengan obligasi rekapitalisasi yang diterima oleh masing-masing bank BUMN, pemerintah sudah mendapat untung dari penerbitan surat utang itu. Dengan kapitalisasi pasar BNI sebesar Rp 120,3 triliun, maka saham yang dimiliki oleh pemerintah yaitu 60%, maka kepemilikan dana pemerintah yang ada di BNI adalah sebesar Rp 72,18 triliun. 

Jika dikurangi dengan obligasi rekapitalisasi yang dikucurkan pemerintah kepada BNI sebesar Rp 61 triliun, maka pemerintah telah mengantongi profitabilitas sebesar Rp 11,18 triliun.

"Menuju bank yang besar memang baik, tapi bisa saja hasilnya berupa mimpi buruk. Karena kesannya kalau tidak merger tidak bisa mengalahkan bank asing. Padahal kapitalisasi pasar bank-bank di Indonesia cukup besar," jelas Yap.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan