KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah emiten berkapitalisasi pasar besar alias
big cap tercatat mengalami penurunan bobot terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (
IHSG). Hal ini merupakan hasil evaluasi yang dilakukan Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk bulan September 2024. Melansir keterbukaan informasi, BEI meluncurkan pengumuman evaluasi lima indeks pada tanggal 24 September 2024, termasuk IHSG. Evaluasi yang dilakukan BEI ini termasuk jenis evaluasi minor. Periode efektif evaluasi ini berlaku mulai 1 Oktober 2024 hingga 31 Desember 2024.
Berdasarkan data dari laman BEI, PT Barito Renewables Energy Tbk (
BREN) menjadi emiten dengan kapitalisasi pasar alias market cap terbesar per Agustus 2024. Lalu, diikuti PT Bank Central Asia Tbk (
BBCA), PT Chandra Asri Pacific Tbk (
TPIA), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (
BBRI), PT Amman Mineral Internasional Tbk (
AMMN), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (
BMRI), PT Bayan Resources Tbk (
BYAN), PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (
DSSA), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (
TLKM), dan PT Astra International Tbk (
ASII). Pada evaluasi kali ini, BREN, BBCA, BBRI, BMRI, BYAN, TLKM, dan ASII tercatat mengalami penurunan bobot saham terhadap IHSG. Berikut 20 saham dengan bobot terbesar pada IHSG menurut evaluasi BEI terbaru, Selasa (24/9):
No. | Kode | Rasio Free Float | Pra Evaluasi | Pasca Evaluasi | Keteranga |
1 | BBCA | 42,41% | 9,05% | 9,00% | Turun |
2 | BBRI | 46,21% | 9,96% | 9,00% | Turun |
3 | BMRI | 39,90% | 8,36% | 8,25% | Turun |
4 | AMMN | 23,60% | 4,01% | 5,42% | Naik |
5 | TLKM | 47,78% | 4,63% | 4,57% | Turun |
6 | BREN | 11,73% | 4,30% | 4,25% | Turun |
7 | TPIA | 17,62% | 3,81% | 3,76% | Turun |
8 | BYAN | 18,36% | 3,15% | 3,11% | Turun |
9 | ASII | 45,09% | 2,96% | 2,92% | Turun |
10 | BBNI | 39,90% | 2,63% | 2,60% | Turun |
11 | DSSA | 20,42% | 1,98% | 1,99% | Naik |
12 | GOTO | 79,13% | 1,85% | 1,84% | Turun |
13 | AMRT | 45,38% | 1,61% | 1,80% | Naik |
14 | ADRO | 41,50% | 1,46% | 1,44% | Turun |
15 | SMMA | 43,35% | 1,24% | 1,24% | Tetap |
16 | UNTR | 37,80% | 1,18% | 1,16% | Turun |
17 | KLBF | 40,89% | 1,03% | 1,01% | Turun |
18 | INDF | 49,57% | 0,97% | 0,95% | Turun |
19 | MDKA | 50,84% | 0,88% | 0,86% | Turun |
20 | CPIN | 34,14% | 0,87% | 0,86% | Turun |
Baca Juga: BEI Evaluasi IHSG, Bobot Mayoritas Emiten Big Cap ke IHSG Turun Head of Research Infovesta Utama, Wawan Hendrayana melihat, evaluasi bobot merupakan sesuatu yang secara reguler dilakukan BEI. Fokus utama yang dilihat BEI dalam menentukan bobot terhadap IHSG adalah dari rasio
free float dan market cap para emiten. Untuk memilih mana saham yang berkinerja baik, tiga faktor utama yang biasanya dilihat langsung oleh investor adalah fundamental emiten, prospek bisnis ke depan, dan likuiditas. “Untuk market cap, tidak seluruhnya dimasukkan, agar tidak satu emiten dominan terhadap IHSG. Untuk
free float itu dilihat karena faktor likuiditas,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (25/9). Wawan melihat, kenaikan bobot AMMN ke IHSG disebabkan oleh kinerja harga sahamnya yang tengah mengalami kenaikan. “Kenaikan harga suatu saham akan jadi pertimbangan mengapa bobot sahamnya bisa ditambah. Namun, ini sesuatu yang reguler (diubah),” ungkapnya.
Baca Juga: BEI Lakukan Evaluasi Indeks, Salah Satunya Atur Ulang Bobot BREN terhadap IHSG Pembobotan indeks ini dinilai Wawan sangat memudahkan para manajer investasi dalam mengatur komposisi portofolio. Sementara, investor ritel bisa lebih mudah melihat kinerja masing-masing emiten, khususnya dari segi likuiditas. “Evaluasi indeks dengan tujuan untuk menjaga likuiditas juga akan meningkatkan nilai transaksi harian di Bursa. Investor juga tak perlu panik, karena ini memang hal reguler,” tuturnya. Ke depannya, Wawan melihat sektor perbankan masih menarik untuk dilirik investor. Hal ini berkaitan dengan penurunan suku bunga, sehingga permintaan kredit akan naik. “Ketika suku bunga turun, emiten lain yang terkait dengan pendanaan juga akan diuntungkan. Misalnya, sektor otomotif dan properti,” paparnya.
Baca Juga: Dicoret dari Indeks FTSE, Berapa Sebetulnya Free Float Saham BREN? Customer Literation and Education PT Kiwoom Sekuritas Indonesia Vinko Satrio Pekerti melihat, evaluasi yang dilakukan oleh BEI terhadap indeks secara berkala, baik mayor maupun minor, bertujuan untuk memastikan bahwa indeks-indeks tersebut tetap relevan terhadap kondisi pasar yang sebenarnya. “Pertimbangan utamanya biasanya meliputi beberapa hal, seperti tingkat likuiditas saham, tingkat kapitalisasi pasar, dan volatilitas harga saham itu sendiri,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (25/9). Di antara saham-saham
big cap, BREN tengah menjadi sorotan. Hal ini lantaran BREN dicoret dari Indeks FTSE Global Equity Indonesia kategori large cap terhitung sejak Rabu ini (25/9). Padahal, saham BREN baru masuk ke dalam indeks FTSE Global Equity Series - Large Cap pada Senin lalu (23/9). Vinko melihat, penurunan bobot BREN di IHSG menjadi 4,25% sebagai langkah BEI untuk meminimalisasi dampak volatilitas saham dengan kapitalisasi pasar yang besar seperti BREN terhadap IHSG secara keseluruhan.
Baca Juga: Sudahi Polemik, BEI Akan Merevisi Beleid Free Float IPO Di sisi lain, kenaikan bobot BREN di IDXInfra ke 9% dilihat sebagai indikasi meningkatnya peran penting BREN di sektor infrastruktur, terutama di sektor energi terbarukan (EBT). Meningkatnya bobot BREN di IDXInfra ini berdampak netral atau bahkan positif terhadap kinerja saham perseroan. “Peningkatan bobot di indeks sektoral, seperti IDXInfra, dapat menarik minat investor yang berfokus pada sektor infrastruktur,” paparnya. Selain itu, kenaikan bobot AMMN di IHSG dari 4,01% ke 5,42% dapat diatribusikan pada semakin menariknya prospek kinerja emiten. Hal ini tercermin dari diresmikannya smelter tembaga dan fasilitas pemurnian logam mulia yang akan memiliki dampak positif terhadap bisnis AMMN di masa mendatang.
Baca Juga: Menilik Aturan Free Float yang Bakal Dikaji oleh BEI Dengan evaluasi minor ini, Vinko melihat sektor perbankan menarik untuk diperhatikan oleh investor ke depannya. Hal ini terutama karena ada sentimen penurunan suku bunga dari The Fed dan Bank Indonesia (BI). Diharapkan dengan tren menurunnya suku bunga acuan, emiten-emiten bank yang selama ini memiliki rasio
current account saving account (CASA),
nonperforming loan (NPL), dan
loan to deposit ratio (LDR) yang lebih inferior dibanding rata-rata industrinya, akan memiliki kesempatan untuk membalikkan keadaan. Vinko pun merekomendasikan beli untuk BBRI dengan target harga Rp 5.750 per saham–Rp 5.850 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati