Boeing 737 Max Tertunda, Air China Tuntut Kompensasi



KONTAN.CO.ID - DW. Air China Ltd., satu dari tiga maskapai besar milik pemerintah Cina kini ikut menuntut kompensasi untuk pesawat 737 Max dari perusahaan Boeing menyusul adanya dua kecelakaan fatal.

Pihaknya sudah menuntut kompensasi dari Boeing Co. atas keterlambatan pengiriman pesawat baru yang dipesan, kata salah seorang pejabat Air China Rabu (22/05), yang minta namanya tidak disebut, kepada kantor berita AP.

''Jalur hukum harus ditempuh oleh Amerika atas tindakan penipuan yang menutup-nutupi kasus ini. Perusahaan juga tetap mengeruk keuntungan dari orang lain, yang tentunya adalah tindak kecurangan,'' tulis koran media Partai Komunis Cina, Global Times.


Hingga saat ini Air China telah memiliki 15 pesawat Boeing 737 Max, dan menjadi perusahaan kedua yang menuntut kompensasi setelah China Southern Airlines Ltd mengeluarkan tuntutan serupa bulan April lalu.

Cina adalah salah satu dari 9 negara yang duduk Dewan Panel di bawah penugasan Komisi Pemeriksa Federasi Administrasi Penerbangan AS (FAA) bersama dengan Australia, Brazil, Kanada, Uni Eropa, Jepang, Indonesia, Singapura dan Uni Emirat Arab di Fort Worth, Texas untuk mengevaluasi status keamanan terbang pesawat Boeing 737 Max.

Cina telah meminta maskapai untuk menangguhkan pembelian dan operasi pesawat Boeing 737 Max pada bulan Maret, setelah kecelakaan di Indonesia dan Etiopia (10/03) mengakibatkan 346 korban tewas.

Sebagai salah satu pasar global terbesar untuk penjualan pesawat, bersama AS dan Eropa, pemerintah Cina menyatakan bahwa penyelesaian kasus Boeing 737 MAX harus diprioritaskan.

Para peneyelidik menyatakan bahwa kedua kecelakaan dengan Boeing 737 MAX terjadi akibat kerusakan sistem kontrol penerbangan MCAS. Boeing sendiri menjelaskan bahwa pihaknya kini sedang melakukan pembaruan perangkat lunak pesawat agar dapat kembali beroperasi dengan normal.

Boeing memperkirakan, Cina akan membutuhkan 7.700 pesawat baru untuk dua dekade ke depan. Pemerintah Cina menyatakan akan mengatur pesanan kepada Boeing dan Airbus agar kompetisi tetap terjaga dan harga relatif tetap rendah.

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti