Boeing mendarat kembali di Irak



BAGHDAD. Sebuah pesawat jumbo Boeing mendarat di ibukota Irak, Baghdad akhir pekan lalu. Kedatangan produsen pesawat ini menandai perekonomian Irak mulai bergeliat. Sejatinya, kedatangan pesawat terbang ini cukup langka karena awalnya Amerika Serikat tak ingin menjualnya pada Irak. Namun, kesempatan ini akan dimanfaatkan oleh Iraqi Airways untuk memperbaiki bisnisnya, dan merebut kembali pangsa pasarnya dari maskapai asing yang mencuri kesempatan di negaranya.

Setelah puluhan tahun berhadapan dengan perang dan sanksi ekonomi, Irak mulai membangun kembali perekonomiannya. Sabtu lalu (15/12), sebuah jet Boeing mendarat di Baghdad, untuk pertama kalinya setelah 30 tahun, menandai industri maskapai negara ini juga mulai berbenah.

Maskapai Irak memang tertinggal jauh dibanding negara penghasil energi lainnya. "Kedatangan pesawat ini menunjukkan kesempatan yang besar bagi Iraqi Airways untuk berbalik kembali," kata Hadi al-Amiri, Menteri Transportasi Irak, kepada Associated Press (AP). Kedatangan pesawat jumbo twin-aisle 777-200LR hanya kurang dari dua pekan sejak maskapai ini memesan sebuah pesawat berbadan lebar rakitan Airbus, asal Eropa.


Akan lebih banyak lagi pesawat yang datang. Irak telah memesan 30 pesawat Boeing dengan model kecil 737-800 dan 10 unit keluaran terbaru 787. Berdasarkan penjelasan perusahaan pembuat pesawat yang berbasis di Chicago ini, model 737 akan mulai dikirimkan pada pertengahan tahun depan. Iraqi Airways sebelumnya sudah menggunakan dua pesawat Airbus A321 untuk melayani rute Eropa dan internasional.

Irak terakhir kali memesan pesawat komersial Boeing versi 747, pada tahun 1982. Namun, sejatinya, kedatangan pesawat kali ini tak lepas dari pengawasan ketat Amerika Serikat (AS). Irak bisa menerima pesawat dari Boeing karena pelanggan lain tidak membeli pesawat-pesawat itu.

Donald Galvanin, Direktur Penjualan Boeing untuk kawasan Timur Tengah mengusulkan untuk menawarkan pesawat tersebut pada Irak yang kemungkinan membutuhkan jet jarak jauh. Kedutaan Amerika di Irak mengatakan ikut mengawasi proses penyelesaian jual-beli pesawat 777 ini. Namun, nilai jual pesawat ini tidak diumumkan.

Usaha Iraqi Airways untuk meningkatkan bisnisnya selama ini terhambat oleh peralatan yang mulai tua, kurangnya sumber daya terlatih yang memadai, dan perselisihan panjang dengan Kuwait, sisa perseteruan dari masa kepemimpinan Saddam Hussein. Perselisihan tersebut terjadi ketika Kuwait menuduh Saddam Hussein mencuri 10 pesawat dan perlengkapan suku cadang di masa invasi tahun 1990-an. Kuwait meminta ganti rugi US$ 1,2 miliar, yang tak kunjung dibayar Irak.

Namun, kedua pihak akhirnya sepakat di awal tahun ini, untuk menyelesaikan perseteruan ini dengan ganti rugi US$ 500 juta. Dengan kesepakatan ini, operasional Iraqi Airways sudah bisa berjalan kembali normal.

Di tengah perjuangan Iraqi Airways, maskapai asing terus meningkatkan kehadiran mereka di Irak dan memakan pangsa pasar penerbangan lokal. Pemainnya beragam termasuk Turkish Airlines dan Royal Jordania.

Maskapai raksasa sekelas Emirates dan Etihad Airways juga ikut mencicipi pasar Irak. Tahun lalu, Austrian Airlines melayani penerbangan reguler ke Baghdad, dan menjadi maskapai asing pertama yang datang sejak invasi AS tahun 2003 lalu.

Maskapai asing ini mayoritas melayani penerbangan kota di Irak, terutama Irbil, yang berada di kantung kekuasaan warga Kurdi. Kawasan ini merupakan destinasi populer bagi maskapai karena dianggap cukup aman sebelum masuk pasar Irak.

Sejauh ini tidak ada maskapai penerbangan Amerika yang bermain di pasar Irak. Namun pekan lalu, Federal Aviation Administration AS melepaskan larangan bagi maskapai AS untuk terbang ke Irbil dan Sulaimaniyah, dan area Kurdi lainnya.

Editor: Sanny Cicilia