Boleh dicela, tapi hasil properti lebih nyata



Jakarta. Optimistis namun konservatif di dunia investasi sejatinya dua hal yang berbeda. Tapi,  itulah hasil survei yang tertuang dalam Manulife Investor Sentiment Index (MISI). Tipe investor  Indonesia adalah optimistis bisa mencapai tujuan finansial, namun dengan cara yang konservatif.Kebanyakan investor pilih menempatkan dana pada instrumen investasi berisiko rendah. Di antaranya  adalah uang tunai berupa tabungan dan deposito, efek pendapatan tetap seperti obligasi negara ritel  baik konvensional maupun syariah (ORI dan Sukuk Ritel), rumah yang dihuni, serta properti jenis  lain. “Orang masih menganggap bahwa aset harus dalam bentuk properti,” kata Direktur Pengembangan  Bisnis PT Manulife Asset Manajemen Indonesia Putut Endro Andanawarih.Potret investor ini juga tecermin dari klien-klien yang meminta jasa perencanaan keuangan kepada Mike Rini. Perencana keuangan dari Mitra Rencana Edukasi ini mengakui tipe investasi umum di sini sangat konservatif. Ada sebagian kliennya yang sudah mengerti saham atau reksadana, tapi porsi investasinya masih sangat kecil. “Tak sedikit klien saya yang awalnya 100% investasi di kas dan properti,” kata Mike.Guru Besar Ekonomi Keuangan IPMI International Business School Roy Sembel membenarkan fakta temuan MISI. Roy menyebut, masyarakat sebenarnya bukan tidak tahu atau kenal instrumen investasi lain seperti reksadana atau saham, tapi pengetahuan mereka baru sebatas kulit permukaan saja. “Indikator paling mudah, ya, dari jumlah rekening saham yang kisarannya 500.000 saja,” kata Roy.Investasi kas di deposito, bagi Roy, bukan jenis investasi yang cocok untuk jangka panjang. Instrumen ini pas untuk jangka pendek. Belum lagi, imbal hasil dari investasi ini sangat kecil dan akan keteteran menghadapi tingkat inflasi.Sedangkan properti, untuk yang dipakai pemiliknya, kurang pas disebut investasi. Memang harga properti itu akan mengalami kenaikan. Tapi, tak ada yang memastikan empunya rumah bakal menjual properti untuk memetik keuntungan.Adapun properti untuk investasi itu bila bisa memberikan pemasukan (cash generator) menjadi pendapatan berulang alias recurring income. Tapi, masalah utama investasi properti adalah likuiditas. Saat pemilik properti butuh uang, tak mudah baginya untuk menjual.Associate Director Consultancy & Research Knight Frank Indonesia Hasan Pamudji berpendapat tren investasi properti yang masih sangat kuat di Indonesia ini tak lepas dari unsur gengsi kepemilikan (pride ownership). Apalagi, anggapan harga properti tidak akan turun juga sangat melekat. “Padahal, pendapat seperti itu tidak benar,” kata Hasan.Tidak mau ribetNamun, berbagai “celaan” itu tidak menyurutkan keyakinan orang untuk berinvestasi di instrumen yang disebut berisiko rendah. Di lapangan, banyak investor menyukai investasi properti karena mampu menghasilkan yield yang tinggi. Pemupukan dana pembelian properti ini dilakukan dari deposito hingga obligasi negara ritel.Yang menarik, pengetahuan investor di instrumen investasi yang sophisticated semacam saham dan reksadana sejatinya sudah tak sekadar permukaan. KONTAN mendapati beberapa investor pernah mencicipi investasi di pasar modal.Salah satunya adalah Suryo Prasetya. Dia mengaku aware dengan pilihan-pilihan produk investasi. Namun, dia memilih jalur investasi konvensional di bidang properti untuk berbiak aset. “Saya bukan tipe investor yang senang main saham karena tidak bisa memonitor pergerakan harga setiap waktu,” kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai bankir di sebuah bank swasta nasional.Pendapat serupa muncul dari Bayu Aryanto, pegawai PT Pertamina EP. Dia mengaku kurang telaten dan tidak memiliki feeling yang bagus saat main saham. “Tapi, saya memastikan tidak berinvestasi di satu keranjang saja,” kata Bayu.Bayu menekankan bahwa dirinya melakoni beberapa jenis portofolio di deposito, obligasi negara ritel, sukuk ritel, logam mulia, bisnis rumahmakan, hingga properti berupa ruko yang disewakan. Bahkan, dia cukup “bernyali” untuk membiakkan fulus di sebuah koperasi yang menawarkan imbal hasil di atas bunga deposito.Bayu menempatkan dana di deposito sebagai pengalihan dari tabungan bila dirasa sudah cukup besar. Dia memanfaatkan hasil pengumpulan deposito atau bonus dari perusahaan untuk membeli logam mulia atau ORI dan Sukuk Ritel bila bertepatan dengan masa penawaran dari pemerintah.Untuk investasi bulanan, dia memiliki unitlink dari sebuah perusahaan asuransi. “Kayaknya ada hasilnya meski kalau dihitung tak sebanyak yang ditawarkan,” kata Bayu.Kepemilikan unitlink juga bagian dari investasi Suryo. Tapi, dia menganggap investasi properti lebih menjanjikan. Dia mencontohkan harga rumah yang ditempati sudah melonjak dua kali lipat. Kini, dia berancang-ancang untuk membeli rumah kedua.Sementara Dian Faqihdien Suzabar menempatkan investasi properti dalam horison jangka panjang, dia atas lima tahun. Paling tidak ada tiga jenis properti yang menjadi lahannya berinvestasi, yaitu apartemen, properti komersial, serta tanah dan rumah tapak.Untuk jangka menengah, antara dua sampai lima tahun, pria bersapaan akrab Difa ini memilih logam mulia untuk berbiak dana. Sedangkan investasi jangka pendek, maksimal enam bulan, dia wujudkan dari trading saham. “Porsinya 50% properti, 30% logam mulia, dan 20% saham,” kata Difa, bankir di bank syariah pelat merah.Beragam jenis investasi membuatnya melangkah dari investor pemula ke investor yang mulai berpengalaman. Cara berinvestasi juga mengikuti periodisasi investasi. Untuk trading saham, dia menyisihkan dari penghasilan bulanan. Setelah tiga bulan, dia menambah koleksi logam mulia. Investasi properti dilakukan melihat pengumpulan dana secara tahunan.Investasi properti juga menjadi andalan Michael Andy. Dia melihat, return investasi properti tak kalah dari saham. Dia memiliki rumah dan ruko di Serpong, Tangerang Selatan dan kondominium di Tanjung Duren. Dari ketiga aset tersebut, Michael bisa mengantongi uang sewa Rp 350 juta per tahun. Selain dari sewa, Michael mengaku bisa mendapat cuan dari pertumbuhan harga.Sebagai investor properti, dia sadar risiko likuiditas yang menganga. Tapi, dia juga selalu menyiapkan dana kas untuk membiayai kebutuhan jangka pendek yang mendadak. Kalau pun terpaksa menjual, lokasi properti yang strategis tak akan sulit mendatangkan pembeli. “Saya yakin orang Indonesia yang punya dana kas besar itu banyak,” kata pria 30 tahun ini.Secara keseluruhan, kepemilikan properti mencapai 60% asetnya. Adapun aset berupa kas dan setara kas berada di kisaran 28%. Porsi investasi di reksadana dan saham masing-masing 7% dan 5%. Ke depan, dia memastikan belum akan menambah porsi investasi di reksadana dan saham.Michael menganggap kedua jenis investasi ini membutuhkan pengelolaan yang lebih intens. Apalagi, dalam bermain saham, dia tipe investor bukan trader. “Kalau properti malah akan saya tambah,” katanya.Kesadaran investasi properti yang memberikan imbal hasil relatif baik dan tidak fluktuatif menjadi alasan Anre Rasjidin berburu properti. Namun, kepemilikan properti ini dia lengkapi dengan alokasi investasi di reksadana dan saham. Pria yang berprofesi sebagai bankir di sebuah bank daerah ini sadar investasi di pasar modal itu high risk high gain. “Di sini, saya dan istri memanfaatkan dana idle dari bonus tahunan yang tidak mengganggu cash flow rutin,” kata Anre.Dalam berinvestasi, Anre tidak menetapkan jangka waktu secara spesifik. Bila sebuah instrumen sudah memberikan imbal hasil yang dianggap cukup, dia akan melakukan pencairan dan melakukan investasi baru. Dia menganut falsafah investasi sebagai sesuatu yang memberikan imbal hasil relatif besar dan dalam jangka waktu yang relatif cukup lama.Ke depan, dia berencana memperluas investasi ke sektor riil dengan membeli waralaba. Beberapa pilihan waralaba yang menarik Anre berupa bisnis makanan, jasa laundry, dan salon. Upaya ini masih dalam tahap penjajakan dan pengumpulan dana. “Selain ada potensi, ada peluang membuka lapangan kerja yang bisa jadi investasi akhirat juga,” kata Anre.Sepertinya, investasi sektor riil dan paper investment bisa bersanding.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 28  - XVII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Imanuel Alexander