Bom waktu bagi rupiah



JAKARTA. Aliran dana asing yang masuk ke pasar obligasi dan saham belum mampu mendorong rupiah untuk menguat secara signifikan terhadap dollar AS. Euforia pemberian quantitative easing tahap ketiga (QE3) dari The Federal Reserve (The Fed) belum cukup memberi tenaga bagi valuta Garuda.

Dollar AS masih terlalu kuat, karena investor kembali mengkhawatirkan perekonomian Yunani. Negara itu kemungkinan belum sanggup memenuhi segala persyaratan bailout. Pasar finansial masih menunggu kelanjutan episode masalah krisis utang di Eropa ini.

Di saat yang sama, kebutuhan dollar AS di dalam negeri juga masih tinggi. Di saat pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) mulai menipis, tentu Pertamina harus menambah stok dengan melakukan impor. Itu akan menekan rupiah.


Bisa dibilang, selama pertumbuhan ekonomi domestik masih tinggi, kebutuhan impor akan terus naik. Itu membuat suplai dollar AS di pasar berkurang, hingga melemahkan nilai tukar rupiah.

Indikator risiko berinvestasi di Indonesia atau Credit Default Swap (CDS) juga terlihat mulai meningkat, meski sebelumnya sempat melandai. CDS Indonesia mengikuti kenaikan CDS di Spanyol dan Italia. Sentimen global sejauh ini masih up and down.

Di sisi lain, pelemahan rupiah saat ini cukup lumayan membantu tekanan impor. Saya menduga, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) memang sengaja menahan laju rupiah di level saat ini. Karena sebenarnya, BI dengan mudah bisa menambah suplai dollar AS seiring dengan meningkatnya impor. Namun, hal itu belum dilakukan karena BI masih wait and see untuk memberikan intervensi.

Secara garis besar, saya yakin capital inflow masih akan besar. Namun belum bisa mendorong penguatan rupiah secara signifikan. Masih banyak bom waktu yang akan menjadi masalah, termasuk belum jelasnya mekanisme QE3.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini