Bom waktu defisit migas



Lebaran kemarin penulis hampir tidak menjumpai warga yang mengayuh sepeda di desa asal penulis. Paman saya yang tahun lalu masih memakai sepeda ontel, sekarang sudah mengendarai sepeda motor bekas. Melihat fenomena itu saya berharap harga minyak dunia tidak naik di tengah tensi geoekonomi politik dunia yang berubah cepat.

Harapan saya didasari pada defisit neraca migas Indonesia yang makin melebar, konsumsi jenis BBM yang terus meningkat dan lifting minyak dalam negeri yang jauh panggang dari api. Pasca 2000, sejarah defisit migas mulai tercatat pada kuartal II-2011 sebesar US$ 1,39 miliar yang didahului dengan defisit minyak bumi (net importir) sejak tahun 2002. Lebih lanjut, angka tertinggi defisit migas sejak 2011 terjadi pada kuartal III-2018 dengan besaran defisit sebesar US$ 3,5 miliar. Terbaru, neraca perdagangan migas Mei 2019 menunjukkan defisit migas US$ 77 juta.

Fakta di atas menunjukkan ketangguhan gas dalam membendung defisit minyak dan gas hanya bertahan sembilan tahun. Neraca migas untuk gas saat ini masih surplus. Pada Januari-Mei 2019, perdagangan gas surplus US$ 3,07 miliar sedangkan minyak mentah dan hasil olahan minyak defisit US$ 6,81 miliar.


Kombinasi ini mencatatkan defisit neraca migas US$ 3,74 miliar. Apabila dalam empat tahun ke depan tidak ada eksplorasi gas baru, pada 2022 Indonesia akan menjadi negara net importir gas. Ini sejalan dengan pengembangan gas di Indonesia dalam Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) yang menetapkan porsi minyak dan gas hingga 2050 masih berkontribusi 44% dari total energi nasional.

Defisit tersebut sejalan dengan rata-rata kuartalan pertumbuhan ekspor migas 2011- kuartal I-2019 yang lebih kecil dibandingkan dengan impor. Secara kuartalan, rata-rata ekspor migas tumbuh -3,06% sedangkan impor tumbuh 3,64%. Tingginya impor disebabkan produksi migas yang stagnan.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan akhir Maret 2019 lifting minyak hanya 706.600 barel per hari. Target asumsi APBN 2019 sebesar 720.400 barel per hari. Di sisi lain, kebutuhan minyak Indonesia 1,5 juta barel per hari.

Defisit migas tersebut bisa merepotkan pemerintah jika harga minyak dunia meningkat. Kenaikan harga minyak mentah dunia berimplikasi pada kenaikan harga BBM domestik. Ujungnya inflasi yang bisa menggerus pertumbuhan ekonomi tidak terhindarkan. Tanda kenaikan harga minyak sudah mulai kentara.

Per 21 Juni 2019, harga minyak mentah dunia untuk jenis brent ditutup dengan harga US$ 65,2 per barel untuk pengiriman bulan Agustus 2019. Level harga ini sudah meningkat 6,3% sejak awal Juni 2019 yang berada pada level US$ 61,28 per barel. Sedangkan perdagangan minyak WTI ditutup dengan level harga US$ 57,4 per barel dengan kontrak pengiriman Agustus 2019. Level harga ini sudah meningkat 7,8% sejak awal Juni 2019 yang berada pada level US$ 53,25 per barel.

Dua pekerjaan rumah

Oil and Energy Insider mencatat kenaikan harga minyak dipicu oleh dua hal utama yakni ketegangan Amerika Serikat dan Iran serta rencana OPEC untuk tetap menahan level produksi pada level flat di Juli mendatang. Tensi Amerika Serikat-Iran dimulai dengan tuduhan Paman Sam terhadap Negeri Para Mullah sebagai dalang penyerangan kapal tanker berbendera Jepang di Selat Oman pada Mei 2019.

Namun, tuduhan tersebut dibantah oleh Teheran dan secara tidak langsung didukung pernyataan oleh pihak pemilik tanker Kokuka Courageous. Dalam keterangan pers pihak Kokua, mengatakan bahwa serangan dilakukan dengan instrumen "sesuatu" yang terbang ke arah kapal tepat sebelum ledakan, bukan berasal dari ranjau limpet yang dipasang di permukaan air.

Penyebab ketegangan kedua adalah tertembaknya pengintai nir awak Amerika Serikat oleh Pasukan Garda Nasional Iran. Setelah insiden ini, Presiden AS Donald Trump telah memberikan izin kepada militer AS untuk menggempur Iran. Izin yang diramal bakal menyulut perang regional di Timur Tengah, tiba-tiba dibatalkan oleh Presiden AS.

Batalnya serangan Amerika Serikat ke Iran sangat menguntungkan Indonesia. Setidaknya harga minyak tidak melambung tinggi dalam waktu dekat. Tapi Indonesia tetap harus waspada terhadap defisit migas. Karena masih ada faktor nilai tukar rupiah. Dan apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah, maka melebarnya defisit tetap menjadi ancaman.

Lantas apa yang harus dilakukan pemerintah dalam waktu dekat? Ada dua hal, pertama, ekspansi investasi hulu migas untuk mencari sumber baru dan kedua pemanfaatan bio solar. Investasi hulu migas harus dilakukan agar dalam lima tahun ke depan bisa ditemukan sumur minyak dan atau gas baru.

Tahun ini, investasi migas di Indonesia bakal meningkat. Data Kementerian ESDM menunjukkan pada 2010 hingga 2013 investasi migas meningkat dari US$ 14,4 miliar menjadi US$ 22,3 miliar. Memasuki tahun 2014, angkanya menurun menjadi US$ 21,7 miliar. Penurunan investasi ini terus terjadi hingga menuju pada titik terendah pada 2017 menjadi US$ 11,03 miliar. Memasuki 2019, angkanya meningkat menjadi US$ 15,33 miliar yang salah satunya disumbang investasi di Blok Masela.

Pemerintah harus menjaga momentum perbaikan investasi migas tersebut. Selain pasar migas Indonesia yang menggiurkan, ada hal lain yang perlu dilakukan untuk mendorong investasi migas seperti insentif fiskal dan jaminan keamanan.

Usaha kedua optimasi pemanfaatan B20. Upaya pemerintah mendorong bauran energi tersebut sudah tepat. Namun perlu dipikirkan exit strategi bila harga CPO tinggi. Pemerintah harus menambah insentif bagi B20 agar menyamai insentif ekspor CPO di harga tinggi.

Dalam jangka panjang, usaha untuk mengoptimalkan penggunaan transportasi publik wajib terus diupayakan. Rencana Pemprov DKI Jakarta yang merencanakan 75% penduduk DKI menggunakan transportasi publik wajib diacungi jempol. Selain itu upaya diversifikasi energi terbarukan juga perlu didorong semaksimal mungkin. Pengesahan RUU Energi Terbarukan perlu segera disahkan agar dasar hukum pengembangan energi terbarukan di Indonesia semakin kuat.

Semoga segala daya upaya mengurangi defisit neraca migas tidak dibumbui dengan ketegangan di Timur Tengah. Karena kedamaian di Timur Tengah dan kondisi ekonomi yang kondusif adalah harapan doa harian yang diucapkan jutaan warga desa agar anugerah mengendarai sepeda motor di atas mulusnya jalan ribuan desa di Indonesia tidak berkurang akibat kenaikan harga BBM.♦

Rusli Abdulah Peneliti Indef

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi