Bondan, maknyus dan ekonomi digital



Publik Tanah Air baru saja kehilangan sosok yang peduli terhadap wisata kuliner nusantara. Sang maestro boga, Bondan Winarno, menghembuskan nafas terakhir pada hari Rabu minggu lalu (29/11) karena sakit. Mantan jurnalis tersebut dalam beberapa tahun terakhir ini sudah berdedikasi tinggi menyajikan reportase review makanan secara detail dan jeli.

"Pokoke maknyus" demikian ungkapan fenomenal  Bondan pasca mencicipi beragam kuliner yang dirasa khas dan punya cita rasa tersendiri. Setiap warung yang Bondan kunjungi langsung ia  review makanan yang tersaji di kedai makan tersebut hingga mendapatkan sertifikasi "maknyus" dan terpajang foto Bondan memiliki kebanggaan dan sebagian besar setelah mendapat liputan dari Bondan langsung berkembang pesat usahanya. Efeknya pun besar dalam melejitkan tren wisata kuliner di Indonesia.

Perkembangan kuliner selain mengandalkan rasa kini juga berlomba dalam pelayanan. Era digital telah mendorong layanan kuliner berbasis aplikasi daring, seperti pesan antar dan pesan melalui transportasi online. Ini membuat bisnis kuliner menjadi turut meramaikan fenomena ekonomi digital.


Pemerintah sendiri telah mencanangkan Visi Ekonomi Digital Indonesia 2020. Targetnya Indonesia menjadi kekuatan ekonomi digital terbesar di kawasan ASEAN pada 2020 mendatang.  Jalan mencapainya tentu tidaklah mulus. Optimalisasi dari segala lini diperlukan guna menjawab tantangan tersebut.

Baru-baru ini, Economist Intelligence Unit merilis urutan negara-negara berdasarkan perkembangan ekonomi digital suatu negara di dunia. Nah, Indonesia baru menempati urutan 65 dari 70 negara.  Meskipun demikian tren perbaikan posisi Indonesia diprediksi bakal terus membaik.

Pemerintah sejak 2014 telah memberikan perhatian khusus kepada ekonomi digital. Peta jalan alias roadmap industri e-commerce telah disusun hingga tahun 2020 ke depan. Upaya lain juga dilakukan dalam menyiapkan ekosistem yang baik untuk mengembangkan industri e-commerce lokal. Pemerintah Indonesia bervisi menempatkan Indonesia sebagai negara digital economy terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2020. Target yang mendukungnya adalah menciptakan 1.000 technopreneurs baru dengan valuasi bisnis US$ 10 miliar.

Nilai bisnis e-commerce tanah air pada akhir tahun 2015 sendiri, diprediksi sekitar US$ 18 miliar. Sedangkan  prediksi pada tahun 2020, akan mencapai US$ 130 miliar dengan angka pertumbuhan sekitar 50% per tahunnya. Angka tersebut diharapkan dapat mendongkrak Pendapatan Domestik Bruto sebesar 22%.

Dari sisi jumlah start up, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia, hanya kalah dari Amerika Serikat dan India. Angka yang dirilis situs www.startupranking.com adalah ada sebanyak 1.463 start up. Agahari (2017) mengemukakan bahwa tren pertumbuhan start up ini dipelopori oleh para generasi muda yang memiliki semangat sociopreneurship.

Ekonomi digital memiliki potensi dampak yang signifikan terhadap pembangunan bangsa. Oxford Economics (2016) melaporkan sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menyumbang 7,2% dari total PDB Indonesia. Pertumbuhannya yang mencapai 10% menjadi pertumbuhan terbesar dibandingkan sektor lain. Setiap 1% peningkatan penetrasi mobile diproyeksikan bisa menyumbang tambahan dana sekitar US$ 640 juta kepada PDB serta membuka bagi 10.700 lapangan kerja baru pada tahun 2020.

Strategi pengembangan

Jalan terjal merupakan tantangan yang mesti segera mendapatkan solusi yang tepat. Pengembangan ekonomi digital yang optimal menjadi keniscayaan sekarang dan  ke depan. Banyak hal mesti diperhatikan sebagai strategi pengembangan tersebut.

Pertama, adalah  kualitas sumberdaya manusia. Ekonomi digital membutuhkan skill, ketrampilan,  daya inovasi dan kreasi tinggi dari pelakunya. Dinamika ekonomi digital sangat cepat  hitungan waktunya. Produk berkualitas dan layanan yang prima menjadi kunci eksistensi dari produk dan layanan tersebut. Daya saing global juga menuntut kualitas SDM tinggi. Kemampuan bahasa asing menjadi penting sebagai jembatan komunikasi. Sektor pendidikan vokasi dan perguruan tinggi penting menyiapkan stok SDM yang menjadi tren kebutuhan industri digital. Dengan demikian dibutuhkan kolaborasi dan sinergi antara sektor bisnis dan akademik.

Kedua, adalah pemenuhan keadilan dan pemerataan. Selama ini masih terjadi  kesenjangan digital. Jaringan dan fasilitas masih bias Jawa dan kota. Kesenjangan mesti diminimalisasi dengan perluasan akses layanan telekomunikasi, terutama di wilayah yang belum terjangkau layanan tersebut.  Selanjutnya  mesti dilanjutkan dengan jaminan biaya yang terjangkau bagi lapisan masyarakat kelas bawah yangj jadi konsumen terbesar.

Ketiga, adalah pemenuhan unsur permodalan. Start up ekonomi digital umumnya termasuk dalam golongan UMKM, sehingga butuh suntikan modal finansial. Sektor keuangan mikro dan perbankan mestinya melirik ini sebagai potensi. Namun demikian tetap perlu memperhatikan kemampuan dan tidak justru memberikan beban dalam proses pengembangan. Pemerintah penting menjadi fasilitator sinergi, bahkan memberikan subsidi bagi pelaku mikro.

Keempat, kepastian regulasi pro pelaku ekonomi digital. Pelaku ekonomi digital membutuhkan kepastian dan  keberpihakan. Awal perkembangan ekonomi digital sudah dihadapkan pada wacana pengambilan pajak. Penarikan pajak memang wajar namun penting dilakukan bertahap, partisipatif, dan tidak memberatkan. Mekanisme self assessment dalam pelaporan pajak dapat dipertimbangkan. Regulasi terkait keamanan siber, jaminan logistik jasa pengiriman, dan lainnya juga mendesak diatur.

Selain itu tidak dilupakan adalah perlindungan konsumen yang rentan mengalami kerugian oleh oknum pelaku ekonomi digital yang tidak bertanggungjawab. Perlindungan tersebut diantaranya terkait keamanan data, jaminan transaksi, dan lainnya. Regulasi tersebut mestinya juga adaptif dan memproyeksikan inovasi digital ke depannya.

Pengembangan ekonomi digital mengalami dilema terkait dengan kompetisi dengan usaha konvensional yang selama ini eksis. Sektor transportasi online menjadi salah satunya. Pemerintah mesti menjadi penengah yang adil. Ekonomi konvensional pelan namun pasti mesti diarahkan melakukan diversifikasi dengan memanfaatkan media digital.                

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi