KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan pemerintah soal minyak goreng yang terkesan bongkar pasang dinilai menimbulkan kisruh minyak goreng. Pemerintah dinilai tidak konsisten dan kerap berubah sehingga menimbulkan kegusaran bagi masyarakat maupun pengusaha. Saat Presiden Joko Widodo mengumumkan melarang ekspor minyak goreng pada 22 April 2020 lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa yang dilarang adalah hanya ekspo
r Refined bleached, and deodorized atau
RBD palm Olein, yang merupakan bahan baku minyak goreng. Pelarangan tersebut akan berlaku mulai 28 April pukul 00.00 WIB.
Namun selang sehari kemudian aturan tersebut berubah kembali. Airlangga mengumumkan, pemerintah akhirnya melarang ekspor semua produk hasil kelapa sawit ke luar negeri. Produk tersebut Baik itu
CPO, RPO, RDB Palm Olein, Pome dan
Use Coocking Oil. Dengan adanya perubahan berbagai aturan dari pertama hanya melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan kemudian diubah kembali menjadi melarang ekspor CPO dan seluruh produk turunannya ini merupakan salah satu tidak adanya kepastian hukum kepada para pengusaha.
Baca Juga: Jelang Sidang Perdana, Lin Che Wei Tegaskan Tak Terlibat Korupsi Minyak Goreng Tak lama kemudian, Kejaksaan Agung menetapkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag dan tiga orang pelaku usaha sawit sebagai tersangka atas kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit (CPO) dan produk turunannya kepada empat perusahaan yang dianggap tidak memenuhi persyaratan DMO (
domestic market obligation) sebesar 20%. Ketiga petinggi di perusahaan minyak yang dijadikan tersangka yakni Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group Stanley MA; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor; dan General Manager PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang. Setelah itu giliran Lin Che Wei alias Weibinanto Halimdjati selaku Penasehat Kebijakan / Analisa pada Independent Research & Advisory Indonesia menjadi tersangka baru kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya pada Selasa, 17 Mei 2022. Praktisi hukum Hotman Sitorus menduga adanya keanehan dengan penetapan pengusaha minyak goreng sebagai tersangka. Sebut saja terkait kaburnya perumusan unsur perbuatan melawan hukum, kerugian perekonomian keuangan negara kerugian keuangan negara dan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Baca Juga: Relaksasi Pungutan Ekspor Sawit Dinilai Singkat, Pemerintah Perlu Evaluasi Selain itu, kata dia, kerugian negara yang dihitung dari beban yang ditanggung pemerintah berbentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) Tambahan Khusus Minyak Goreng untuk 20,5 juta rumah tangga tidak mampu akibat kelangkaan dan mahalnya minyak goreng. "Ini tentu hal yang baru dan cukup membingungkan. Di mana subsidi yang diberikan pemerintah kok malah menjadi kerugian negara," kata Hotman dalam keterangannya, Rabu (24/8). Terdakwa PTS diduga melakukan perbuatan melawan hukum dalam pengurusan Persetujuan Ekspor (PE) CPO dan produk turunannya sebanyak 41 ijin yang berasal dari 7 perusahaan Grup Musim Mas, yakni PT Musim Mas, PT Musim Mas-Fuji, PT Intibenua Perkasatama, PT. Agro Makmur Raya, PT Megasurya Mas, PT Wira Inno Mas. Selanjutnya, PTS dianggap telah menguntungkan atau memperkaya perusahaan sebesar Rp626,6 miliar. Selain itu, PTS juga didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp 1.107.900.841.612,08 dan merugikan perekonomian negara senikqi Rp3.156.407.585.578,00,- "Dalam dakwaan, PTS disebutkan dalam mengurus PE dengan menggunakan dokumen yang dimanipulasi. Tidak sesuai dengan realisasi distibusi kebutuhan dalam negeri. Selain itu, dianggap melanggar domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DMO)," kata Hotman.
Baca Juga: Pelonggaran Ekspor Menyuburkan Harga CPO dan Prospek Produsen Sawit Hotman menambahkan, untuk untuk memperoleh perizinan ekspor (PE) crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah dari Kementerian Perdagangan dibutuhkan persyaratan yang ketat. Setidaknya ada tiga syarat yang harus dipenuhi.
Pertama ada realisasi purchase order. Jadi industri bisa mengeluarkan ekspor minyak goreng DPO dan DMO itu kalau ada purchase order dari pembeli. Kemudian harus jelas pengirimannya itu ada, di-print order. Kemudian ketiga, eksportir pun harus menyerahkan faktur pajak pembeli. Baru kemudian Kemendag bisa mengluarkan surat PE. Prosedur semacam itu tentu susah dimanipulasi. Itu bukan elektronik tapi hardcopy. Jadi harus ada bukti-buktinya. “Jadi penetapan tersangka yang dilakukan Kejagung tidak cukup pembuktiannya. Dia menampik pengusaha mencoba mendekati penjabat dalam hal ini adalah Kementerian Perdagangan untuk mendapatkan izin ekspor,” pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli