Bonus demografi, Dikti, dan tarif pajak



Kemunculan Sundar Pichai (Chief Executive Officer /CEO Google) dan Satya Nadella (CEO Microsoft) menjadi kejutan. Keduanya lulusan strata I di India dan berimigrasi untuk program master. Menurut National Science Foundation Amerika Serikat (AS), antara 200-2013 ada 29 juta ilmuwan dan teknisi pindah ke AS.

Khusus 2013, dari India menyumbang 950.000 ilmuwan ke AS. Pichai dan Nadella membuktikan kualitas pendidikan India, dan fenomena brain drain (kekurangan pemikir) India yang berimigrasi ke negara lain karena alasan pekerjaan dan fasilitas hidup.

Demografi sendiri terkait jumlah penduduk produktif (usia 15-64 tahun) dibandingkan dengan non produktif. Bonus demografi terjadi jika jumlah penduduk usia produktif melebihi penduduk non produktif. Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan profil rasio ketergantungan penduduk Indonesia terus menurun sejak 1971-2016. Angka rasio ketergantungan di 2016 adalah 48,4%. Artinya ada 48 jiwa penduduk Indonesia (usia 1-15 tahun dan lebih dari 65 tahun) ditanggung kehidupannya oleh 100 jiwa penduduk usia 15-64 tahun. Usia produktif Indonesia diperkirakan 70% pada 2025-2030, atau 180 juta jiwa.


Istilah "menanggung" kehidupan usia non produktif, bisa banyak hal. Penduduk produktif berkontribusi membayar pajak ke negara, sebagai sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Peran penduduk usia produktif penting dalam hal ikut jaminan sosial ketenagakerjaan dan kesehatan. Kelangsungan jaminan sosial bisa bermasalah, jika tidak ada peserta baru yang menjadi anggota dan membayar premi jaminan sosial.

Bonus demografi dialami China, India, dan Indonesia yang berpenduduk besar. Pada 2017-2018, Global Competitiveness Report (GCR) menempatkan China ranking 27, Indonesia (36) dan India (40). Ada tiga pilar yang dijadikan tolok ukur GCR untuk mengukur produktivitas suatu negara.

Pilar kesatu, kebutuhan dasar untuk pembangunan dan kompetitif termasuk infrastruktur, institusi, pendidikan dasar, dan kesehatan. Pilar kedua, efisiensi perbaikan berupa pendidikan tinggi, pelatihan, kesiapan teknologi dan pasar barang dan tenaga kerja yang efisien.

Pilar ketiga, yakni inovasi dan penerapan teknologi mutakhir. Kelemahan pada pilar kedua dan ketiga, menurut GCR, bisa memicu brain drain, seperti di India.

Pada pilar kedua, pendidikan tinggi China (ranking 47) unggul jauh dari Indonesia (ranking 64) dan India (ranking 75). Artinya tingkat pendidikan tinggi dan pelatihan di Indonesia masih tertinggal dari China. Pada pilar ketiga, peringkat China (29), India (30) dan Indonesia (31). Ini bisa dibaca bahwa inovasi dan penerapan teknologi Indonesia tertinggal dibandingkan dengan China dan India. Wajar jika dari laporan Google dan Temasek 2018 menyebut unicorn Indonesia, Traveloka dan GoJek membuka riset di India.

Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, menyebut pasal 13-14 untuk mendapat persamaan hak di pendidikan. Sementara UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyebut pendanaan pendidikan dapat bersumber dari mahasiswa, orangtua mahasiswa dan pihak lain. Pilar ketiga GCR sangat ditentukan jumlah universitas negeri dan lulusannya. Tanpa perluasan hak pendidikan tinggi sesuai UU No.11/2005, Indonesia sulit bersaing di tingkat global.

BPS menyebutkan adanya kenaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari 2014 sebesar 68,9 ke 2017 sebesar 70,81. Sebagian peningkatan ini dibantu dari Program Indonesia Pintar. Namun demikian, masih ada anak putus sekolah di pendidikan dasar dari 60.066 di 2015/2016 menjadi 32.127 pada 2017/2018. Putus sekolah menutup kesempatan untuk mendorong daya saing global.

Global Competitiveness Report tahun 2017-2018 juga menyebut negara pendidikan terbaik yaitu Finlandia, Swiss, Belgia, Singapura, Belanda, Qatar, Irlandia, Estonia, Selandia Baru, Jepang, Swedia dan Jerman. Sampai sekarang, Jerman disebut punya pendidikan vokasi terbaik dan gratis.

Sekolah TK sampai SMA Jerman memang ada sharing biaya antara sekolah dan siswa, namun untuk kuliah nyaris gratis. Hanya ada 5% kampus swasta. Pada awal reunifikasi Jerman, biaya kuliah dikenakan ke mahasiswa. Kebijakan ini diprotes warga, sehingga perlahan ada penghapusan biaya kuliah di seluruh Jerman dan menjadi gratis hingga saat ini.

Alokasi biaya kuliah

Darimana Jerman membiayai kuliah gratis untuk warganya? Tentu saja dari uang pajak yang dibayar masyarakat. Dibandingkan negara-negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), tarif pajak Jerman cukup tinggi yaitu 39,5%. Tarif ini bisa membebaskan biaya kuliah mahasiswa asli Jerman dan asing.

Bila menilik lebih jauh, negara di dunia dengan tarif pajak tertinggi dunia yaitu Aruba, yakni dengan tarif Pajak Penghasilan (PPh) 58,95% lalu Swedia (56,6%), Denmark (55,4%), Belanda (52%), Belgia (50%), Austria (50%), Jepang (50%), Inggris (50%), Finlandia (49,2%), dan Irlandia (48%).

Bisa disimak bahwa negara dengan tarif pajak tinggi, ternyata memiliki kualitas pendidikan terbaik, yaitu Finlandia, Irlandia, Belgia, Belanda, Jepang, Swedia, Denmark dan Belanda. Ada korelasi kuat antara pengumpulan pajak dengan pembiayaan pendidikan berkualitas. Negara hadir berperan menarik pajak untuk pembiayaan pendidikan para warganya.

Dalam debat Pemilihan Presiden (Pilpres) lalu sempat mengemuka soal gagasan penurunan tarif PPh Badan yang saat ini 25%. Asumsinya, tarif pajak rendah akan menarik investasi. Terkait investasi sebenarnya bisa dilihat dari kemudahan berbisnis/Ease of Doing Business (EoDB). Penentu EoDB ada 10 faktor yaitu prosedur memulai bisnis, izin konstruksi gudang/kantor, kemudahan listrik, pendaftaran hak properti, perolehan kredit usaha, perlindungan investor, pembayaran pajak, proses ekspor-impor, pemenuhan kontrak kredit dan perlindungan kebangkrutan.

Tahun 2014, EoDB Indonesia berada di urutan 120, dan di tahun 2019 sudah urutan 73 atau masuk level Easy/mudah. Posisi ini menengah, karena EoDB 2019 anggota ASEAN lebih tinggi yaitu Singapura (2), Malaysia (15), Thailand (27) dan Vietnam (69). Menarik investasi lebih ke arah perbaikan EoDB.

Hal ini jelas bahwa masalah pajak bukan menjadi faktor utama investasi sehingga argumen penurunan tarif PPh Badan menjadi kurang relevan. Pada sisi lain, dengan tarif PPh Badan efektif antara 12,5%-25% saja, pemerintah masih terkendala memenuhi biaya pendidikan dasar lanjutan dan pendidikan tinggi. Pungutan pendidikan setara SLTA dan Diploma/Sarjana membuktikan anggaran pendidikan belum mencukupi.

Apalagi jika tarif pajak diturunkan, sumbangan pajak ke APBN semakin sulit. Pada akhirnya Indonesia semakin sulit bersaing dengan negara lainnya untuk pendidikan berkualitas dan bonus demografi bisa menjadi bencana pada saatnya nanti.♦

Anandita Budi Suryana Karyawan di Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi