KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Kekhawatiran soal booming akal imitasi (AI) kian menguat. Salah satunya lantaran pendanaan investasi sektor AI saat ini sangat bergantung pada pasar obligasi. Namun, lantaran bisnis AI dianggap masih berisiko tinggi, ramainya penawaran obligasi dari perusahaan terkait AI, termasuk perusahaan listrik yang memasok tenaga listrik bagi AI, berpotensi membuat pasar obligasi yang aman menjadi lebih berisiko. Penjualan obligasi oleh perusahaan utilitas AS tumbuh 19% tahun ini dan mencapai rekor US$ 158 miliar. Sebagian besar dana digunakan mendanai pertumbuhan pesat permintaan listrik untuk kebutuhan AI.
Baca Juga: Mengintip Peluang Pasar Obligasi di Semester II 2025 Menurut kelompok industri Edison Electric Institute, dalam lima tahun ke depan, perusahaan-perusahaan listrik akan butuh dana sekitar US$ 1 triliun untuk pembangkit listrik, gardu induk, dan infrastruktur jaringan lainnya. Angka ini naik sekitar 44% dari periode sebelumnya. Sebagian besar pendanaan diprediksi akan dikumpulkan dari utang. Pengamat mengkhawatirkan, tingginya kebutuhan pendanaan AI akan membuat pasokan obligasi dari sektor ini membludak. Bila ini terjadi, maka valuasi perusahaan bisa tertekan. Di saat yang sama, keuntungan bisa terganggu karena regulator mencoba mengendalikan kenaikan bunga. Memang, investor yakin perusahaan utilitas tidak akan mengalami kesulitan keuangan. Di AS, biaya listrik diatur pemerintah, dengan mempertimbangkan tingkat pengembalian yang sehat. Namun, ada risiko dari naiknya pasokan surat utang.
Baca Juga: Kinerja Pasar Obligasi Semakin Solid, Banyak Katalis Pendorong di Semester ll-2025 JPMorgan Chase & Co baru-baru ini memperkirakan akan terjadi kenaikan penerbitan obligasi utilitas tahun depan sekitar 8%. Dananya untuk memenuhi kebutuhan energi di data center dan untuk membuat jaringan listrik lebih tangguh. Kekhawatiran investor terhadap pecahnya gelembung AI juga meningkat beberapa waktu terakhir. Kondisi ini meningkatkan kekhawatiran investasi sektor tenaga listrik mungkin tidak lagi aman. Memang, kontrak energi mensyaratkan pembayaran minimum dan biaya penghentian. Kendati begitu, perlambatan atau kontraksi yang signifikan dalam pengeluaran terkait AI akan merusak narasi pertumbuhan yang telah disampaikan kepada investor.
Baca Juga: Pasar Obligasi Tanah Air Menikmati Reli pada Tahun 2025, Begini Prospeknya ke Depan Selain itu, ada faktor risiko politik bagi investor. Saat ini, secara nasional, harga listrik di AS naik 5,1% di 12 bulan terakhir hingga September. Data pemerintah menunjukkan, harga listrik saat ini hampir mencapai rekor. Banyak politisi dalam kampanyenya di November lalu menjanjikan akan menurunkan biaya listrik dan gas. Alhasil, regulator harus menahan kenaikan biaya energi di level yang rendah. “Kondisi ini bisa memangkas imbal hasil bagi para investor,” kata Tim Winter, Manajer Portofolio Ekuitas Gabelli Funds. Dus, investor berpotensi menjauh dari sektor energi.
Baca Juga: Pasar Obligasi 2026: Peluang Untung di Tengah Ruang Gerak Terbatas Toh, menurut realita di pasar, penjualan obligasi dari perusahaan utilitas besar tahun ini telah menunjukkan permintaan yang kuat. Penjualan obligasi yang jatuh tempo tahun 2066 senilai
US$ 1,15 miliar oleh Florida Power & Light, unit usaha dari NextEra Energy Inc., awal bulan ini mengalami kelebihan permintaan hingga lima kali lipat. Duke dan Evergy Inc. melihat permintaan untuk beberapa obligasi yang mereka jual pada November lalu melebihi penawaran lebih dari enam kali lipat. Angka tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata cakupan buku sebesar 3,9 kali untuk obligasi bermutu tinggi dalam denominasi dolar AS, yang diterbitkan pada tahun 2025.