Borneo Lumbung berada di ujung tanduk



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nasib bisnis PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (BORN) semakin kritis. Ini buntut pemutusan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) dengan PT Asmin Koalindo Tuhup oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Padahal, tambang Asmin Koalindo yang berada di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, itu merupakan satu-satunya aset produktif yang masih dimiliki BORN. Ini tercermin dari laporan keuangan terakhir yang disajikan BORN kepada publik, yakni kuartal III-2014.

Kala itu, penjualan BORN tercatat US$ 121,61 juta, turun 54% year on year. Pendapatan ini berasal dari aktivitas penjualan ekspor batubara yang dilakukan oleh Asmin Koalindo.


Tidak terlihat ada sumber pemasukan lain, meskipun BORN punya bisnis di segmen usaha lain seperti penyewaan alat berat. "Berarti, habis sudah, BORN tidak memiliki sumber pendapatan lagi," ujar Analis First Asia Capital David Sutyanto kepada KONTAN, Senin (27/11).

Direktur BORN Kenneth R. Allan belum bersedia memberikan tanggapan terkait isu ini. Yang jelas, perusahaan yang berdiri 1992 itu sudah menerima permintaan klarifikasi dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Tapi, mereka belum bisa memberikan jawaban. "Ini untuk menghindari timbulnya persepsi yang menyesatkan selama upaya yang sedang kami lakukan," kata dia.

Sebelumnya, William E. Daniel, pengurus tunggal PKPU Asmin Koalindo, mengatakan, setidaknya ada dua hal yang bisa ditempuh BORN. Yakni, mengajukan upaya hukum atau melakukan likuidasi sesuai yang diperintahkan pemerintah (Harian KONTAN, 20 November 2017).

Namun, menurut David, upaya hukum juga bukan jalan yang mudah ditempuh. "Karena, pemerintah bisa balik melakukan banding," imbuh David.

Pemutusan PKP2B itu juga berpotensi mengganggu proses restrukturisasi utang yang tengah dilakukan BORN. Seperti diketahui, pada 2012 silam, BORN menarik pinjaman dari Standard Chartered (Stanchart) Bank mencapai US$ 1 miliar.

Asmin Koalindo dijadikan jaminan atas pinjaman tersebut. Padahal, menggadaikan kontrak termasuk pelanggaran berat. Pemerintah juga menilai BORN tidak berupaya melakukan perbaikan sehingga PKP2B terpaksa dicabut. Hanya, "Kalaupun harus likuidasi, aset BORN juga tak banyak," ungkap David.

Potensi delisting

Bukan cuma kreditur yang dirugikan, pemegang saham juga harus menanggung risiko ini. Apalagi, saham BORN sudah tak bisa ditransaksikan sejak 30 Juni 2015 lalu. Lalu, tak hanya soal going concern perusahaan, jika mempertimbangkan lamanya saham ini disuspensi, maka BORN masuk dalam kriteria saham yang akan delisting paksa.

"Saham BORN sudah masuk dalam pantauan kami untuk di-delisting," sebut Direktur Penilaian Perusahaan BEI Samsul Hidayat kepada KONTAN. Tapi, Samsul belum bersedia mengungkapkan, kapan keputusan delisting akan keluar. Pemegang saham pun harus menganggap ini sebagai risiko investasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini