Bos-Bos Bank BUMN Khawatirkan Likuiditas Ketat Jadi Tantangan pada 2025



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menatap tahun 2025, rasa-rasanya persoalan likuiditas ketat belum akan hilang di industri perbankan tanah air. Beberapa bos bank BUMN menilai tantangan ini masih akan membayangi.

Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) Royke Tumilaar mengungkapkan bahwa salah satu penyebab likuiditas ketat datang dari sisi eksternal. Di mana, kemenangan Donald Trump menjadi Presiden AS bisa jadi menghambat penurunan suku bunga AS.

Menurutnya, kemenangan Trump di AS akan dibayangi kebijakan tarif impor dan penurunan pajak. Alhasil, itu akan mendorong inflasi naik dan menyulitkan The Fed akan menurunkan suku bunga.


Baca Juga: Meski Bunga Mulai Turun, Kepemilikan Perbankan dI Instrumen SRBI Tetap Menanjak

"Tadinya ekspektasi kita turun suku bunga akan agresif, tapi kelihatan tendensi turun bunga US dolar itu akan sulit untuk kita ekspektasi turun lebih tajam, sehingga tekanan likuiditas ini akan jadi beban yang cukup signifikan bagi perbankan ke depan untuk ekspansi di 2025," ujarnya dalam di DPR, Rabu (13/11).

Lebih lanjut, Royke bilang kebijakan suku bunga Bank Indonesia yang cukup tinggi berpengaruh pada pergerakan dana pihak ketiga (DPK) yang dimiliki oleh bank.

 
BBNI Chart by TradingView

Dengan suku bunga yang tinggi, DPK tersebut cenderung keluar dari sistem perbankan dan beralih kepada instrumen-instrumen investasi pemerintah. 

Meski demikian, Royke yakin dengan kebijakan kondisi ekonomi sekarang ini diharapkan arah kebijakan pemerintah yang mendukung daya beli masyarakat dan fokus ke pertanian dan peningkatan investasi terjadi sinkronisasi antara moneter fiskal, sehingga policy pemerintah atau program bisa berjalan baik sesuai yang diharapkan.

Baca Juga: Obligasi Jadi Alternatif Pendanaan, Bank Ramai Terbitkan Surat Utang

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Darmawan Junaidi juga menyoroti kondisi likuiditas tercatat tetap ketat di tengah penurunan suku bunga untuk mendorong biaya dana tetap tinggi. Alasannya, adanya Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang terus menawarkan yield tinggi. 

Alhasil, pasar kini memiliki pilihan bukan hanya menempatkan dana di produk perbankan yang konvensional, tapi lebih kepada yield yang dijanjikan lebih tinggi. 

"Sehingga, saat ini  tren penurunan suku bunga tidak langsung diikuti oleh reaksi pasar karena masyarakat sudah melihat ada channel yang ekspektasi yield lebih tinggi, suku bunga tren turun tapi secara agregat biaya dana semua bank meningkat," ujarnya.

Selanjutnya: DJP Kantongi Pajak Ekonomi Digital Rp 29,97 Triliun per Oktober 2024

Menarik Dibaca: Rekomendasi 6 Drama Korea Komedi, The Fiery Priest 2 Baru Tayang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli