Bos Finex Consulting buka-bukaan soal kiat berinvestasi



KONTAN.CO.ID - ​JAKARTA. Sebagai seorang perencana keuangan atawa financial planner, tentu saja Ferry Gunawan Chandra paham betul soal pentingnya investasi. Lantas, bagaimana sebetulnya strategi Founder & Chief Executive Officer (CEO) Finex Consulting ini dalam mengatur keuangannya dan keluarga?

Ferry membagi kegiatan investasinya dalam dua kategori utama, investasi aset dan investasi pribadi. Soal investasi pribadi, itu hal sederhana. Investasi ini dia lakukan demi memenuhi keperluan pribadinya. Sementara investasi aset memerlukan pemahaman dan kontrol yang lebih kompleks.

Ferry menemukan perlunya membagi kegiatan investasi menjadi dua kategori ini dari pengalamannya berinvestasi.


Dia berkisah, sekitar 10 tahun lalu, ia mendapat pelajaran berharga terkait investasi. Saat itu, Ferry menyebut dirinya masih rookie dalam dunia investasi. Sehingga, keputusan investasi yang ia ambil kala itu malah memberikan hasil berkebalikan dari ekspektasinya.

Saat itu, Ferry yang kini juga menjabat sebagai Anggota Dewan Penasihat Financial Planner Association of Indonesia ini, belum bisa membedakan antara yang spekulasi dan investasi. Akibatnya, Ferry pun merugi. "Kerugiannya cukup besar menurut ukuran saya kala itu," kisah Ferry kepada KONTAN belum lama ini.

Akibat kejadian tersebut, pria yang juga menjabat sebagai Executive Director Financial Planning Standards Board (FPSB) Indonesia ini memahami bahwa ada unsur utama lain dalam berinvestasi, terutama investasi dalam bentuk aset, yakni soal likuiditas. "Cash is the king, liquidity is the queen," tegas Ferry.

Kebanyakan orang mungkin menganggap, aset likuid dan dana darurat merupakan ketersediaan cash yang sama-sama berada di satu kantong yang sama. Padahal, keduanya merupakan dua hal berbeda.

Dana darurat dimaksudkan untuk mengakomodasi hal-hal terburuk yang mungkin datang dalam hidup kita. Sedang aset likuid memiliki fungsi untuk mengakomodasi kesempatan terbaik yang mungkin akan datang dalam hidup, misal saat menemukan peluang membeli aset berharga miring. "Idealnya, seseorang perlu memiliki aset likuid sebesar 15% dari seluruh total aset yang dimilikinya," terang Ferry.

Dia mengakui, komposisi asetnya saat ini belum sepenuhnya ideal. Oleh sebab itu, Ferry secara perlahan mulai mengalihkan 10% aset tetapnya yang kurang likuid ke aset yang lebih likuid.

Aset transisi

Ferry juga menilai investor perlu memiliki aset transisi. Ibarat benda berwujud, investasi juga perlu biaya perawatan. Investasi aset, baik itu properti, simpanan bank dan aset lainnya, perlu surat penetapan pengadilan atau putusan pengadilan, atau fatwa waris pengadilan, agar bisa dialihkan ke ahli waris yang berhak.

Padahal, semua proses birokrasi itu butuh dana dan tenaga yang tidak sedikit. Nah, di sinilah kegunaan aset transisi. Alokasi dana untuk aset ini juga tidak kalah penting.

Lantas, dari mana dana untuk aset transisi itu? Ferry menjelaskan, tak sulit mencari dana aset transisi. Dananya bisa dibangun, salah satunya dari uang pertanggungan asuransi. Contoh kasus, saat seseorang meninggal dunia, ia tetap bisa menghidupi dan menjamin kelangsungan hidup keluarga sampai mereka menerima seluruh aset peninggalan.

Ferry tak menyimpan sendiri ilmu yang ia dapat tersebut. Ia juga membagikan pengetahuan tersebut kepada para kliennya. Tentu saja, ia juga mengajarkan cara mengelola kekayaan kepada kedua buah hatinya. Lulusan Trisakti ini telah melatih kedua anaknya menabung rutin di celengan ayam, dan membuka rekening tabungan junior di bank.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto