KONTAN.CO.ID - Sebagian besar masyarakat Indonesia tentu sudah akrab dengan dunia maya. Lewat internet, kegiatan belanja, mencari tiket, hotel, tempat wisata, hingga kebutuhan sehari-hari sekarang sudah bisa dilakukan secara
online. Pelaku bisnis online pun beramai-ramai menarik pelanggan melalui website dan aplikasi seluler yang sederhana dan atraktif. Tujuannya, sudah barang tentu, untuk mempermudah pelanggan mengakses informasi yang mereka butuhkan. Jika Anda cermati, situs-situs online terutama laman jual-beli selalu mendapat bekal fitur percakapan atawa
chat. Fitur ini memungkinkan para pelanggan untuk langsung mengobrol dengan layanan pelanggan alias
customer service (CS).
Untuk melayani pelanggan dengan fitur percakapan, perusahaan jelas membutuhkan biaya tambahan guna menggaji tenaga CS. Apalagi, layanan itu mereka buka penuh, selama 24 jam sehari. Perusahaan pasti membutuhkan lebih dari satu orang sebagai tenaga CS. Berangkat dari kondisi ini, lahir perusahaan rintisan atau
startup Botika dari tangan Ditto Anindita. Awalnya, alumni Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, ini memiliki situs yang menawarkan tiket pesawat. “Tampilan
website serta proses pemesanan saya usahakan sesederhana mungkin, tetapi pelanggan kami rupanya lebih suka ngobrol dengan
customer service,” katanya. Pengalaman itu membuat Ditto menyadari, pelanggan tetap ingin mendapat layanan secara langsung, cepat, mudah, lagi sederhana. Pada September 2016 lalu, Ditto bersama rekannya lantas membesut Botika, layanan yang menyediakan percakapan otomatis menggunakan robot atau
chatbot. Botika sendiri merupakan suatu a
rtificial intelligence dengan
natural language processing (NLP) yang bisa memahami percakapan bahasa Indonesia sehari-hari. Target pasar teknologi ini adalah para pemilik bisnis online yang berjualan di dunia maya. Tidak hanya dengan website, juga aplikasi seluler dan
chatting. Bentuk kerjasamanya: menghubungkan apa yang dijual pelaku bisnis dengan pelanggannya. Ambil contoh, tiket pesawat. Pelanggan yang ingin mencari tiket kapal terbang hanya perlu menulis di
chatbot, layaknya berbicara dengan
customer service bahkan berbincang sama teman sendiri. Sebab, fitur ini mampu mengenali bahasa Indonesia sehari-hari. Sehingga, pelanggan tidak merasa sedang berbicara dengan robot. Mulanya, Botika menawarkan layanan
social e-commerce yang menghubungkan satu penjual ke pembeli dalam skala kecil hingga menengah. Tapi dalam perjalanannya, banyak perusahaan yang membutuhkan jasa Botika untuk menggantikan kantor informasi yang terpusat guna menerima dan mengirim sebagian besar permintaan melalui telepon (
call center). Botika akhirnya menyediakan
chatbot yang bisa melayani pertanyaan seputar produk, layanan pelanggan, serta transaksi perbankan. Tiga model bisnis Ditto bilang, model bisnis Botika ada tiga macam.
Pertama, jika perusahaan ingin membuat jaringan (
network), Botika bakal menyediakan layanan dari awal. Botika mengenakan biaya kustomisasi untuk layanan tersebut.
Kedua, model bisnis berbasis transaksi, yakni berupa biaya penggunaan
chatbot. Calon mitra bisa mendaftar untuk bergabung dengan
chatbot Botika. Fitur ini yang akan menghubungkan mitra dengan pelanggan. Untuk layanan
customer service, Botika akan membebankan biaya per percakapan. “Jika ada percakapan lalu berhenti atau terdiam selama 30 menit, maka percakapan selanjutnya sudah dihitung biaya baru,” ujar Ditto yang sudah sepuluh tahun berpengalaman di
software engineering. Ketiga, model bisnis berbasis komisi dengan afiliasi pemasaran (
affiliate marketing). Model ini cocok untuk mitra yang menjual produk atau transaksi dengan menggunakan
chatbot. Dengan memiliki akun Facebook Page, Line Bisnis, Telegram, ataupun ketiganya, mitra bisa mendaftar sebagai afiliasi pemasaran Botika secara gratis dan mulai memasarkan produknya. Pembagian keuntungan dari setiap transaksi yang terjadi melalui halaman sosial media
chatbot Botika adalah sebesar 40 % hingga 60 % dari profit atau untung yang dihasilkan. Ditto mengklaim, penggunaan jasa Botika bakal jauh lebih murah dibandingkan dengan tenaga manusia. Bahkan, dengan menggunakan
chatbot, penghematan biaya operasional bisa mencapai 40% sampai 80%. Soalnya, dengan kemampuan
chatbot yang bisa menjawab pertanyaan dan melayani pesanan secara otomatis, maka perusahaan bisa menekan biaya penggunaan telepon dan biaya rekrutmen tenaga CS. Di Yogyakarta, misalnya, gaji seorang administrasi sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Jika perusahaan mempekerjakan dua orang tenaga administrasi, maka butuh biaya Rp 3 juta sebulan. Terlebih, untuk perusahaan multinasional yang memiliki banyak kantor cabang yang terpadu dalam sistem informasi terstruktur. Biaya tenaga
customer service atau
call centre tentu bakal makin besar. Sementara layanan jasa Botika hanya memerlukan biaya minimal Rp 200.000 per bulan. Namun, biaya ini tentu akan semakin tinggi jika jumlah percakapan meningkat. Toh, perhitungannya masih lebih hemat dibanding tenaga manusia. Beberapa mitra besar yang sudah bergabung dengan Botika, misalnya, layanan
payment point online bank (PBOB) Nusantara, Citos Connection yang merupakan sistem layanan bisnis tiket, voucher hotel, paket wisata, hingga PBOB, lalu Bank Bukopin, dan Lite Big Messenger. Kini, Botika sedang dalam proses kongsi dengan sebuah operator seluler lokal. Mencari investor Namun, masalah pendanaan jadi salah satu tantangan Botika untuk berkembang. Pada awal pendiriannya, Ditto bersama beberapa rekan melakukan
bottstrapping. Istilah ini berlaku bagi pengusaha yang mulai bekerja dengan modal minim dan tanpa mendapat bayaran. Tim Botika kini beranggotakan Ditto sebagai
Chief Executive Officer (CEO), Galuh Koco Sadewo di posisi
Business Development & Partnership, Prima Yoga Kharisma yang menjabat
Software Development, dan Andriyanto duduk di kursi
User Experience (UX)
Designer. Sejak peluncuran September tahun lalu, Botika baru mendapat pelanggan pertama pada pertengahan Februari tahun ini. Hingga saat ini, mereka sudah mengantongi pendapatan sekitar Rp 300 juta. Ditto memasang target pendapatan mencapai Rp 54 miliar per tahun dalam dua–tiga tahun ke depan. Tapi, Botika masih akan fokus pada penyediaan
customer service korporasi-korporasi besar. Ditto melihat, prospek perusahaan rintisannya bakal semakin cerah, seiring tren penggunaan
chatbot dengan
artificial intelligent yang sedang naik daun. Di kancah global, perusahaan, seperti Microsoft, IBM, dan Amazon, juga menggunakan artificial intelligence
artificial intelligence. Cuma, “Mereka fokus di bahasa Inggris, sedangkan kami dengan bahasa Indonesia” kata Ditto yang juga CEO RuangKerja Software Engineering.
Pengguna Botika yang bercakap-cakap dengan menggunakan
chatbot saat ini mencapai enam juta
user. Untuk itu, Botika berupaya mencari investor tahap awal (
seed round), agar bisa berkembang lebih besar lagi dengan tim yang juga lebih banyak. Sebab, Botika ingin mengembangkan layanan biar lebih cepat dan memperoleh mitra lebih banyak. Proses pencarian investor juga diiringi dengan sosialisasi bisnis secara terus-menerus. Salah satunya, dengan mengikuti berbagai kompetisi
startup. Terbaru, Botika berhasil menjadi satu dari delapan finalis Bubu Awards 2017 yang diselenggarakan oleh Bubu.com. Siapa yang mau mengikuti jejak Botika, atau malah menjadi investor mereka? Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: S.S. Kurniawan