KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan siap menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait dengan hasil audit BPJS Kesehatan yang mengalami defisit sebesar Rp 9,1 triliun. “Kami pada prinsipnya siap untuk menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan kecuali untuk hal – hal tertentu yang harus kita bicarakan bersama,” kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, Senin (27/5). Ia bilang, meski kolektabilitas program BPJS Kesehatan sebesar seratus persen di semua segmen tetapi dirinya meyakini defisit keuangan pasti tetap terjadi kecuali jika pemerintah melakukan intervensi.
BPJS Kesehatan mencatat pada tahun 2018 Premi per orang per bulan sebesar Rp 36.167. Sementara biaya per orang per bulan yang dikeluarkan sebanyak Rp 46.508. Artinya terjadi
mismatch atau defisit sebesar Rp 10.341 per orang. Fachmi mengatakan, besarnya biaya pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan disebabkan antara lain profil morbiditas penduduk yang banyak menderita penyakit kronis yang tergolong penyakit
katastropik. Banyaknya masyarakat yang terkena penyakit
katastropik karena belum optimalnya pembangunan kesehatan di hulu. Asal tahu saja, penyakit yang tergolong dalam penyakit
katastropik diantaranya penyakit jantung, gagal ginjal, kanker, stroke,
thalassaema, cirrhosis hepatis, leukimia, dan
haemophilia. Akibatnya, biaya pelayanan kesehatan untuk penyakit yang tergolong
katastropik sebesar 21,66 % dari total biaya pelayan kesehatan selama 2018 atau Rp 20,4 triliun dari Rp 94,2 triliun total biaya pelayanan kesehatan. Kemudian, defisit ini karena tingkat kesadaran penggunaan fasilitas kesehatan dan pemahaman masyarakat terkait kesehatan masih kurang. Serta adanya kemungkinan terjadinya kecurangan dalam penggunaan anggaran. Atas hal tersebut, BPKP menyatakan kesiapannya untuk menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan BPKP. Sebab itu, BPJS Kesehatan meminta dukungan tindak lanjut agar rekomendasi dari BPKP dapat dilakukan secara optimal untuk mengurangi defisit BPJS Kesehatan.
Pertama, penerbitan surat BPKP kepada BPJS Kesehatan untuk menindaklanjuti pengembalian klaim yang terindikasi kecurangan dan sudah dibayarkan ke rumah sakit (setelah dipastikan kembali kecurangan dimaksud dan dibicarakan bersama dengan Kementerian Kesehatan, organisasi profesi dan
stakeholder terkait).
Kedua, penerbitan regulasi dan atau revisi Peraturan Menteri Kesehatan untuk mendukung implementasi pemanfaatan SILPA (sisa lebih pembiayaan anggaran tahun berkenan) dana kapitasi.
Ketiga, penerbitan Inpres dan atau regulasi serta mekanisme koordinasi lainnya kepada lembaga – lembaga (Polri, Imigrasi, BPN) dalam rangka
low enforcement PP No 86 tahun 2013 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara dan setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja, dan penerima bantuan Iuran dalam penyelenggaraan jaminan sosial.
Keempat, penerbitan dan atau revisi berbagai regulasi di Kementerian Kesehatan diantaranya, tentang tindak lanjut hasil
review kelas rumah sakit dalam bentuk keputusan menteri kesehatan untuk pengembalian selisih biaya yang sudah dibayarkan, kompetensi fasilitas kesehatan primer dan kriteria TACC
( time, age, complication, comorbidity), pencegahan dan penanganan
fraud. Serta yang berhubungan dengan dukungan implementasi bauran kebijakan, yang diantaranya Peraturan menteri kesehatan norma kapitasi, penetapan tindak lanjut Peraturan Menteri Kesehatan urun biaya. Sebelumnya, BPKP telah melakukan audit terhadap BPJS Kesehatan. Hasilnya, dari audit itu ditemukan bahwa BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp 9,1 triliun selama 2018. BPKP meminta BPJS Kesehatan untuk memperbaiki sistem kepesertaan, manajemen iuran, dan piutang, sistem pelayanan dan biaya operasional, serta strategi
purchasing. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .