BPJS Watch Harapkan Uji Coba Kelas Rawat Inap Standar Diperluas



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. BPJS Watch menilai perlu adanya perluasan uji coba Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Hal tersebut, mengingat uji coba hanya diterapkan pada 4 rumah sakit pemerintah. Adapun survei yang dilakukan terhadap rencana implementasi KRIS juga hanya diisi oleh 23,4% dari total rumah sakit yang ada.

"Dan dari 12 kriteria KRIS tersebut masih banyak rumah sakit yang tidak siap, maka tidak tepat bila disebut 82% rumah sakit sudah setuju dengan KRIS satu ruang perawatan. Saya kira kesimpulan tersebut tidak tepat," kata Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar dalam keterangan tertulis, Rabu (21/9).

Ia berharap proses uji coba KRIS dapat diperluas. Begitu juga dengan survei kesiapan rumah sakit untuk penerapan KRIS.

"Saya berharap proses uji coba dan survei dilakukan secara lebih luas sehingga semua rumah sakit memberikan penilaian tentang rencana KRIS satu ruang perawatan," imbuhnya.

Baca Juga: Penerapan Kelas Rawat Inap Standar Masih Tunggu Juknis Uji Coba

Sebagai informasi, Kementerian Kesehatan telah melakukan ujicoba pelaksanaan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) di empat rumah sakit. Yakni, RSUP Dr.Tadjuddin Chalid Makasar, RSUP Dr. Johannes Leimena Ambon, RSUP Surakarta, dan RSUP Dr. Rivai Abdullah Palembang.

Dalam pemaparan di depan Komisi IX, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan hasil uji coba KRIS di empat rumah sakit tersebut adalah meningkatnya bed occupancy rate (BOR) di rumah sakit tersebut. Namun Timboel menyayangkan tidak dijelaskan alasan terjadinya peningkatan BOR tersebut.

Selain melakukan uji coba KRIS, Kementerian Kesehatan pun melakukan survei kepada 2.982 rumah sakit pada tanggal 1 sampai 5 Agustus 2022. Dari 2.982 rumah sakit yang disurvei hanya 698 rumah sakit (23,4%) yang mengisi survei tersebut. Ada 12 kriteria KRIS yang dinilai oleh rumah sakit yang mengisi survei tersebut.

Mengenai kriteria kepadatan ruangan seperti maksimal 4 tempat tidur, ruang rawat dan jarak antar tempat tidur minimal 1,5 meter, dan ukuran tempat tidur dapat disesuaikan; dan kriteria kamar mandi di dalam ruangan, sebanyak 202 rumah sakit swasta, 8 rumah sakit vertikal/Kemenkes, 25 RSUD Propinsi, 74 RSUD Kabupaten/Kota, 15 RS TNI-Polri, dan 5 RS BUMN/KL yang menyatakan membutuhkan perbaikan pada kedua kriteria tersebut.

Kemudian, sebanyak 57 rumah sakit swasta, 4 rumah sakit vVertikal/Kemenkes, 4 RSUD Propinsi, 13 RSUD Kabupaten/Kota, 6 rumah sakit TNI-Polri, dan 2 rumah sakit BUMN/KL yang menyatakan membutuhkan perbaikan pada kriteria-kriteria seperti bahan bangunan di RS tidak memiliki porositas tinggi; kelengkapan tempat tidur (minimal 2 stop kontak dan ada nurse call); kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas; dan outlet oksigen.

Sementara itu untuk kriteria ventilasi udara; pencahayaan ruangan; Nakas (1 buah per tempat tidur); suhu ruangan di 20 - 26 derajat Celsius dan kelembaban stabil; pembagian ruang berdasarkan jenis kelamin, usia,bahan bangunan di rumah sakit tidak memiliki porositas tinggi; kelengkapan tempat tidur (minimal 2 stop kontak dan ada nurse call); kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas; dan outlet oksigen, sebanyak 57 rumah sakit swasta, 4 rumah sakit vertikal/Kemenkes, 4 RSUD Propinsi, 13 RSUD Kabupaten/Kota, 6 rumah sakit TNI-Polri, dan 2 rumah sakit BUMN/KL yang menyatakan membutuhkan perbaikan pada kriteria-kriteria tersebut.

"Catatan lainnya, tujuan KRIS untuk pasien hanya dua point tapi tidak menyebutkan tentang akses mudah pasien mendapatkan ruang perawatan KRIS. Bila membaca Pasal 18 PP No. 47 tahun 2021 dan dikaitkan dengan Tujuan KRIS untuk peserta maka dengan adanya Pasal 18 tersebut RS diberi peluang untuk membatasi ruang perawatannya untuk pasien JKN," jelas Timboel.

Menurutnya, hal yang wajar apabila nanti rumah sakit pemerintah mengalokasikan KRIS sebanyak 60%, dan sisanya 40% untuk pasien umum yang membayar sendiri. Demikian juga dengan rumah sakit swasta, sah-sah saja jika nantinya mengalokasikan KRIS sebanyak 40%, dan sisanya 60% untuk pasien umum yang membayar sendiri.

Ia menjelaskan, ketentuan pembatasan seperti ini tidak ada di Peraturan Presiden (Perpres)No. 82 tahun 2018 serta regulasi lainnya, sehingga seluruh ruang perawatan klas 1, 2 dan 3 diberikan juga untuk pasien JKN. Pemberian akses pasien JKN terhadap seluruh ruang perawatan KRIS tersebut akan tergantung pada kebijakan manajemen rumah sakit.

Namun, hal ini akan berdampak yakni pasien JKN akan berpotensi terbatasi dalam mengakses ruang perawatan KRIS.

"Bila akses dibatasi maka akan terjadi penolakan rumah sakit terhadap pasien JKN dengan alasan KRIS-nya sudah penuh. Bila ditolak maka pasien JKN akan mengalami kesulitan mencari ruang perawatan yang dibiayai JKN. Ini artinya kualitas layanan JKN terhadap pasien JKN akan semakin menurun dan ini akan menjadi masalah bagi kelangsungan program JKN," kata Timboel.

Baca Juga: Anggota Komisi IX DPR Minta Pemerintah Mulai Hitung Anggaran Penerapan KRIS JKN

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat