BPK: 72 juta hektare lahan milik negara rusak



JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan Indonesia mengalami darurat cadangan sumber daya alam,  khususnya di sektor pertambangan. Auditor negara ini menilai terjadi tumpang tindih izin pertambangan.

Selain itu proses clean and clear terhadap perusahaan tambang tak tuntas. Sementara proses penegakan hukum masih lemah dan menjadi pekerjaan yang harus segera dirampungkan pemerintah.

Menurut anggota BPK Ali Masykur Musa, buruknya pengelolaan tambang bisa mengancam kerusakan lingkungan dan berpotensi menjadi kerugian negara akibat penerimaan dari sumber daya ini tidak optimal. "Akibat pengelolaan yang buruk, saat ini sekitar 72 juta hektare lahan milik negara telah hancur," katanya, Kamis (4/4).


Asal tahu saja, Kementerian ESDM sudah menetapkan  sekitar 1.992 perusahaan pertambangan yang masuk kategori  clean and clear. Jumlah ini setara dengan 51,45 % dari  total perusahaan sebanyak 3.871 perusahaan. Hasil audit BPK tahun 2010-2011 juga menemukan, 64 perusahaan terbukti tidak membuat rencana kegiatan reklamasi pasca tambang. Sebanyak 73 perusahaan tak menyetor dana jaminan reklamasi.

Ironisnya, penerimaan negara bukan pajak (PNPB) dari sektor tambang seperti batubara rata-rata cuma 5% dari total penerimaan negara. Padahal potensi pendapatan negara yang hilang dari pengelolaan pertambangan ini mencapai 80%. "Negara hanya mendapatkan 20% dari penghasilan mereka," ujarnya.

Nah, kehilangan potensi pendapatan negara ini terlihat dari produksi perusahaan tambang selalu tidak sesuai dengan hasil yang dikapalkan. BPK menduga terjadi ekspor ilegal produk batubara.Ali juga mengkritik klaim pemerintah bahwa pertumbuhan perekonomian negara sebesar 6,4% banyak disumbangkan oleh pengelolaan sumber daya alam. Ia menilai kerusakan lingkungan lebih besar dampaknya. Selain itu potensi pendapatan negara dari tambang hilang lantaran minimnya pengawasan.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Andri Wijaya menyebut, banyak perusahaan yang melakukan tindakan ilegal. "Ada dugaan satu perusahaan di daerah Kalimantan Timur memanipulasi jumlah tonase hasil produksi agar kewajiban membayar royalti kepada negara lebih rendah," ujarnya.

Tak cuma itu, Jatam menemukan praktik di lapangan menunjukkan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) terus bertambah. Dari total luas lahan negara, sebesar 34%-nya merupakan wilayah konsesi tambang.

Andri mencontohkan, Pulau Kabaena di Sulawesi Tenggara, sekitar 55% dari 86.769 hektare luas pulau itu dikaveling perusahaan tambang. Sementara di Pulau Sebuku di Lampung, oleh PT Bahari Cakrawala Sebuku dan PT Sebuku Iron Lateritic Ores mengantongi konsesi 26.000 hektare. Padahal pulau tersebut hanya memiliki luas 24.555 hektare.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dadan M. Ramdan