KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pemerika Keuangan (BPK) enggan menjelaskan lebih rinci proses audit pengadaan Helikopter Agusta Westland 101 (AW 101). "Soal AW 101 yang diadakan salah satu unit, dalam hal ini Mabes TNI AU masih dalam pemeriksaan," kata Agung Firman Saputra, Anggota I BPK dalam jumpa pers, Kamis (12/10) di Kantor BPK. Lebih lanjut, Agung menjelaskan bahwa audit terhadap AW 101 bukan merupakan audit tunggal, melainkan masuk dalam keseluruhan proses audit pengadaan alutsista di tubuh Kementerian Pertahanan, dan TNI.
"AW 101 belum bisa kita tentukan selesainya, tapi yang jelas kita sudah masuk. Sekitar dua bulan ini," kata Agung. Agung masih belum mau banyak berkomentar banyak soal audit BPK terhadap pengadaan alutsista tersebut. Sebab menurutnya butuh banyak pertimbangan mempublikasikan urusan pertahanan nasional mengingat jumlah pengadaan yang besar, material, dan miliki resiko tinggi. "Sedang dipertimbangkan untuk dibuka ke publik karena kita bicara pertahanan negara, ada ranah yang bisa dibuka ke publik ada bagian tertentu yang harus kita jaga," lanjut Agung. Sementara soal material, Kepala Biro Humas BPK Yudhi Ramdhan menjelaskan bahwa hak tersebut menunjukkan nilai pengadaan yang relatif tinggi. "Angka secara relatif tinggi terhadap total nilai ekposure laporan keuangan," jawab pesan singkat Yudhi kepada KONTAN. Dikutip dari laman resmi TNI, melalui Polisi Militer (POM) TNI telah lakukan investigasi terhadap pengadaan AW 101. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 220 miliar. "Dari hasil penyelidikan POM TNI bersama-sama dengan KPK dan PPATK terhadap dugaan penyimpangan dalam pengadaan Helikopter AW 101 TNI AU, ditemukan potensi kerugian negara diperkirakan sebesar Rp 220 Milliar dengan basis perhitungan nilai tukar rupiah sebesar Rp. 13.000/1USD," jelas Panglima TNI Gatot Nurmantyo dikutip dari laman tni.mil.id Menanggapi hasil penyelidikan tersebut, Agung menjelaskan bahwa hanya BPK yang miliki kewenangan dalam menetapkan kerugian negara.
"Kami belum menentukan kerugian negara terhadap AW 101, tak apa teman-teman dapat informasi, tapi hanya BPK yang berwenang menentukan kerugian negara," lanjut Agung. Penentuan kerugian menurut Agung belum bisa dilaksanakan lantaran penghitungan dapat dilaksanakan setelah penyerahan barang. "Kalau beli barang, barang diserahkan, pada barang ini kemudian apakah ada rekayasa lelang, pebaikan harga, atau ada perbedaan antara kontrak dan pelaksanannya baru kelihatan," lanjut Agung. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto