KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan atas LKPP Tahun 2018 dan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2018 kepada Dewan Perwakilan Rakyat DPR) dalam Sidang Paripurna ke-18 DPR hari ini, Selasa (28/5). Dalam pemeriksaan LKPP Tahun 2018, BPK menyampaikan hasil pemeriksaan atas sistem pengendalian intern dan kepatuhan. Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, hasil pemeriksaan ini diharapkan menjadi catatan bagi pemerintah terutama untuk perbaikan ke depan.
Pertama, belum ditetapkannya standar akuntansi dalam pelaporan atas kebijakan Pemerintah yang menimbulkan dampak terhadap pos-pos laporan realisasi anggaran dan/atau neraca. Belum juga ada standar akuntansi pada pelaporan kelebihan dan/atau kekurangan pendapatan bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kedua, pemerintah juga belum menetapkan dasar hukum, metode perhitungan, dan mekanisme penyelesaian kompensasi atas dampak kebijakan penetapan tarif tenaga listrik non-subsidi.
Ketiga, pencatatan, rekonsiliasi dan
monitoring evaluasi aset Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan Perjanjian Kerja Sama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) belum memadai.
Keempat, skema pengalokasian anggaran dan realisasi pendanaan pengadaan tanah proyek Strategis Nasional (PSN) pada pos pembiayaan dinilai belum didukung standar dan kebijakan akuntansi yang lengkap.
Kelima, BPK juga menilai data sumber perhitungan alokasi afirmasi dan alokasi formula pada pengalokasian Dana De?a 2018 belum andal.
Keenam, pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik 2018 sebesar Rp 15,51 triliun, menurut BPK, belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan dan tidak didukung dengan dokumen sumber yang memadai. Terakhir, adanya kelemahan pengendalian intern dan ketidakpatuhan dalam penatausahaan dan pencatatan kas setara sas, PNBP, belanja, piutang PNBP, persediaan, aset tetap, dan utang, terutama pada Kementerian Negara/Lembaga. Adapun, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyambut opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diberikan oleh BPK untuk LKPP Tahun Anggaran 2018. "Kita tentu menyambut positif hasil audit dari BPK di mana laporan keuangan pemerintah termasuk laporan dari bendahara umum negara dan laporan Kementerian Keuangan semuanya mendapat opini WTP. Ini merupakan status yang kita bisa pertahankan secara tiga tahun berturut-turut, saya rasa ini positif dan baik," ujar Sri Mulyani. Menanggapi sejumlah catatan BPK, termasuk mengenai melesetnya beberapa target ekonomi makro 2018 dan rasio utang pemerintah yang meningkat, ia mengatakan akan menindaklanjutinya. Menurutnya, isu-isu yang menjadi
concern BPK dalam hasil pemeriksaan laporan keuangan pemerintah tersebut telah menjadi perhatian bersama juga oleh pemerintah. "Kita sangat serius menindaklanjuti temuan. Beberapa kementerian lembaga yang waktu itu masih berstatus
disclaimer, juga sudah positif sekarang sehingga ada kemajuan," tutur dia.
Termasuk soal deviasi belanja subsidi bbm dan listrik yang melebihi pagu anggaran. BPK menilai hal tersebut lantaran terdapat penyediaan bahan bakar minyak (BBM) dan listrik oleh badan usaha melalui skema subsidi maupun skema penugasan yang harga jualnya ditetapkan pemerintah di bawah harga keekonomisan. "Kalau kemudian ada deviasi, itu memang menimbulkan implikasi dalam laporan keuangan PLN maupun Pertamina. Namun, status subsidi sudah diatur dalam undang-undang APBN dan mengenai jumlahnya ditetapkan dengan kesepakatan antara tiga kementerian yaitu Menteri Keuangan, Menteri ESDM, dan Menteri BUMN," ujarnya. Sri Mulyani juga menjelaskan, pemerintah selama ini berupaya merancang kebijakan, terutama anggaran, yang dapat menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, menjaga daya beli masyarakat, serta memastikan APBN dan neraca-neraca BUMN tetap sehat. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .