KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan tematik atas pengelolaan obat dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tahun 2016 dan semester I-2017. Pemeriksaan tersebut dilakukan terhadap 46 objek pemeriksaan, antara lain Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dan 42 Pemda. Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, BPK menyimpulkan bahwa Kementerian Kesehatan, RSUPN-CM, RSJPD Harapan Kita, Badan POM, Pemda dan BPJS Kesehatan, belum secara efektif mengelola obat dalam penyelenggaraan JKN. Hal itu terutama terkait perencanaan kebutuhan, pengadaan, serta pengawasan produksi dan distribusi obat. Kesimpulan BPK merilis ada dua poin permasalahan. Pertama, BPJS Kesehatan belum optimal dalam memberikan pembiayaan pelayanan obat di luar paket. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya mekanisme penggantian biaya obat kepada rumah sakit dan apotek yang belum terlaksana secara optimal. Klaim obat program rujuk balik (PRB) tidak ditagihkan maksimal tiap tanggal 10 bulan berikutnya oleh apotek kepada BPJS Kesehatan. Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan dan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto mengajukan tagihan obat top up kepada BPJS Kesehatan melebihi jangka waktu yang ditetapkan.
BPK: Pengelolaan obat pada program JKN belum efektif
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan tematik atas pengelolaan obat dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tahun 2016 dan semester I-2017. Pemeriksaan tersebut dilakukan terhadap 46 objek pemeriksaan, antara lain Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dan 42 Pemda. Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, BPK menyimpulkan bahwa Kementerian Kesehatan, RSUPN-CM, RSJPD Harapan Kita, Badan POM, Pemda dan BPJS Kesehatan, belum secara efektif mengelola obat dalam penyelenggaraan JKN. Hal itu terutama terkait perencanaan kebutuhan, pengadaan, serta pengawasan produksi dan distribusi obat. Kesimpulan BPK merilis ada dua poin permasalahan. Pertama, BPJS Kesehatan belum optimal dalam memberikan pembiayaan pelayanan obat di luar paket. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya mekanisme penggantian biaya obat kepada rumah sakit dan apotek yang belum terlaksana secara optimal. Klaim obat program rujuk balik (PRB) tidak ditagihkan maksimal tiap tanggal 10 bulan berikutnya oleh apotek kepada BPJS Kesehatan. Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan dan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto mengajukan tagihan obat top up kepada BPJS Kesehatan melebihi jangka waktu yang ditetapkan.