KONTAN.CO.ID - JAKARTA Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI telah merilis hasil audit terhadap pemeriksaan atas kontrak karya PT. Freeport Indonesia (PT. FI) sepanjang tahun 2013-2015. Dalam pemeriksaan yang dilakukan selama April- Desember 2016, BPK menemukan sejumlah permasalahan yang berpotensi merugikan Indonesia. Inilah poin-poin hasil pemeriksaan tersebut:
- Terjadi potensi kekurangan penerimaan iuran tetap dan royalti selama tahun 2009-2015 senilai US$ 445,96 juta. Ini lantaran berdasarkan pasal 169 UU Nomor 4 tahun 2009 , seharusnya ketentuan tarif dalam kontrak karya segera disesuaikan dengan PP paling lambat 1 tahun. Namun baru disesuaikan pada tahun 2014 melalui MoU tanggal 25 Juli 2014 sehingga terdapat potensi kekurangan penerimaan iuran tetap dan royalti tahun 2009-2014 senilai US $ 445,96 juta.
- Pengawasan dan pengendalian Kementerian ESDM dalam pemasaran produk hasil tambang Freeport Indonesia masih lemah. Jika mengacu pada UU Nomor 4 tahun 2009, kontrak karya wajib membangun smelter paling lambat lima tahun sejak UU berlaku atau paling lambat Januari 2014. Pada kenyataannya, Freeport Indonesia hingga saat ini belum membangun smelter. Malahan Freeport Indonesia bisa mengekspor konsentrat lantaran mendapat surat izin Menteri Perdagangan pada tanggal 5 Juli 2014. Nah selama kurun waktu embargo ekspor konsentrat periode Januari-Juli 2014 ini, diam-diam Freeport Indonesia tetap mengekspor konsentrat. BPK menemukan bahwa Freeport Indonesia mengirim konsentrat sebanyak tujuh invoice dengan berat 10.122,186 ton.
- Freeport belum mengajukan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Akibatnya pemerintah kehilangan potensi perolehan PNBP dari penggunaan kawasan hutan. Padahal, Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 2004 menetapkan 13 perusahaan tambang berada di hutan lindung dan wajib mengurus IPPKH . Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa dari 13 perusahaan tersebut, Freeport saat ini belum memperoleh IPPKH.
- Terdapat kelebihan pencairan jaminan reklamasi Freeport senilai US$ 1,43 juta atau senilai Rp 19,43 miliar. Jumal ini seharusnya masih ditempatkan pada Pemerintah Indonesia. Dalam catatan BPK, hasil reklamasi peta reklamasi melalui Geographic Information System (GIS). Terdapat beberapa blok reklamasi sepanjang tahun 2005-2015 yang tumpang tindih dan diklaim berulang kali. Sehingga terdapat kelebihan pencairan jaminan reklamasi senilai US$ 1,43 juta.
- Peningkatan porsi kepemilikan saham Pemerintah Indonesia melalui mekanisme divestasi saham Freeport berlarut-larut. Kontrak Karya menetapkan bahwa divestasi sebesar 51% paling lambat dilakukan 20 tahun setelah perjanjian ditandatangani atau pada Desember 2011. Hasil pemeriksaan diketahui terdapat peraturan dan kebijakan yang meringankan ketentuan divestasi.
- Dividen yang diterima Indonesia pada tahun 2010 hanya sebesar US$ 168,53 juta dari total US $ 1,8 miliar. Dan tahun 2011 hanya US$ 202, 28 juta dari total US$ 2,16 miliar . Sejak tahun 2012 Indonesia tidak memperoleh deviden dengan alasan untuk memperkuat modal. Namun hasil pemeriksaan diketahui bahwa di negara-negara lain Freeport-McMoRan selama tahun 2012-2014 membagikan deviden kepada pemegang saham. Padahal Freeport Indonesia ialah penyumbang terbesar keuntungan Freeport-McMoRan.