BPK Tak Juga Audit Utang Luar Negeri



JAKARTA. Upaya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit terhadap utang luar negeri Indonesia tidak kunjung terealisasi. Jangankan mengaudit. Data yang jelas mengenai posisi utang luar negeri saja tidak bisa didapat oleh BPK. Anggota Pembina Utama BPK Baharudin Aritonang menyatakan, sampai saat ini belum ada data utang dan hibah luar negeri yang komplet dan sinkron.

Menurut Baharudin, masalahnya adalah data utang di Departemen Keuangan (Depkeu), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Bank Indonesia masih berbeda satu sama lain. "Kalau data yang ada tidak sinkron, bagaimana kita bisa tahu mana data yang benar" katanya, Rabu.
Kesulitan ini terjadi karena manajemen keuangan negara dan pengelolaan utang di masa lalu kurang baik. "Kita juga mengalami beberapa kali penggantian pemerintahan," kata Baharudin. Bertahun-tahun merdeka, Indonesia juga baru memiliki standar akuntansi pemerintah pada 2005 yang lalu.
BPK menginginkan Depkeu, Bappenas dan Bank Indonesia menyamakan data utang dan hibah luar negeri terlebih dulu. Setelah ada data yang jelas dan utuh barulah BPK bisa mengauditnya. Baharudin meminta data terbaru menjadi rujukan awal. "Tidak usah jauh-jauh, mulai saja merekonsiliasi data utang sejak 2003 sampai sekarang," katanya. BPK mengaku sudah menyampaikan permintaan ini beberapa kali kepada pemerintah dan DPR. Tapi sampai sekarang permintaan itu belum juga terpenuhi.
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto mengakui ada perbedaan data utang luar negeri. Hal itu terjadi karena ada beberapa pihak yang terlibat dalam pengelolaan utang. Mulai dari Depkeu, Bank Indonesia, Bappenas serta kementerian dan lembaga lain. "Perbedaan itu karena ada perbedaan dasar pencatatan utang luar negeri," ujarnya.
Ia mencontohkan Depkeu yang mendasarkan pencatatan utang luar negeri pada dokumen otorisasi penarikan (notice of disbursement) kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang. Sementara data Bank Indonesia berdasarkan realisasi pengucuran dana pinjaman. Tapi, "Semua institusi sudah secara reguler melakukan rekonsiliasi data dan angka perbedaannya semakin lama semakin kecil," kata Rahmat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: