BPK Telusuri Penyaluran Bagi Hasil Newmont



JAKARTA. Saat ini, Badan Pe­meriksa Keuangan (BPK) se­dang mempelajari masalah ke­terlambatan pengucuran dana bagi hasil (DBH) sumber daya alam dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Salah satu­nya adalah keterlambatan pe­merintah mengucurkan DBH pengelolaan hasil tambang dari PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Auditor Utama Keuangan Ne­gara II BPK Syafri Adnan Baha­ruddin bilang, PT Newmont Nusa Tenggara telah menyetor­kan US$ 12 juta pada Januari 2007 sebagai komitmen bagi hasil dengan pemerintah pusat. Dana sebesar itu berasal dari laba bersih Newmont sepanjang triwulan IV 2006.

Sesuai peraturan, seharusnya dana bagi hasil jatuh ke Pem­prov NTB sebanyak 80%, dan 20% sisanya untuk jatah peme­rintah pusat. Mestinya, perhi­tungannya selesai paling lambat Mei 2007. Nyatanya, dana bagi hasil itu baru mengucur ke kas Pemprov NTB pada Agustus dan September 2007. "Seharusnya tidak perlu selama itu," ujar Say­fri, Rabu (23/4).


Menanggapi ini, Dirjen Perim­bangan Keuangan Departemen Keuangan Mardiasmo mengakui keterlambatan pembayaran dana bagi hasil Newmont dari pusat daerah pada triwulan IV 2006. Menurutnya keterlambat­an itu karena tidak ada peratur­an yang mengatur tentang itu.

Nah, untuk mengantisipasi supaya keterlambatan tidak ber­ulang, sekarang ini sudah ada peraturan Menteri Keuangan Nomor 4/2008 tentang Percepat­an Dana Bagi Hasil. "Jadi seka­rang bayarnya per triwulan, bu­kan berdasarkan realisasi APBN lagi," katanya.

Mardiasmo berjanji pada awal triwulan berikutnya, duit bagi hasil pertambangan itu sudah langsung di transfer ke daerah yang memang berhak. Dengan begitu, daerah tak perlu me­nunggu lama.

Auditor BPK lainnya, Novy Palenkahu, menduga bahwa masih ada beberapa duit bagi hasil pengelolaan sumber daya alam untuk periode 2006 yang juga terlambat mengucur. Seha­rusnya dana tersebut mengucur pada 2007, tapi sampai sekarang belum cair juga.

Tidak tanggung-tanggung, ha­sil pemeriksaan BPK mencatat jumlah DBH yang terlambat di­kucurkan mencapai Rp 1,15 tri­liun. Karena itu, saat ini, BPK se­dang menelisik penyebabnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Test Test