JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 3.293 masalah berdampak finansial sebesar Rp 14,74 triliun selama semester I-2014. Rinciannya, masalah yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 1,42 triliun, potensi kerugian negara senilai Rp 3,77 triliun, dan kekurangan penerimaan negara senilai Rp 9,55 triliun. Berdasarkan Ikhtisar Pemeriksaan Semester (IHPS) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) semester II 2014, BPK mengungkapkan 7.950 temuan yang terdiri atas 7.789 masalah ketidak patuhan terhadap peraturan perundang-perundangan senilai Rp 40,55 triliun, dan 2.482 masalah kelemahan sistem pengendalian internal (SPI). Ketua BPK Harry Azhar Azis mengatakan, pada semester II tahun lalu, BPK memeriksa 651 objek pemeriksaan. Rinciannya: 135 objek pada pemerintah pusat, 479 objek pemerintah daerah dan badan usaha milik daerah (BUMD), serta 37 objek badan usaha milik negara (BUMN) dan badan lainnya. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, BPK menemukan masalah yang perlu mendapat perhatian pemerintah pusat. "Persiapan pemerintah pusat belum sepenuhnya efektif untuk mendukung penerapan Sistem Akuntansi Pemerintah (SAP) berbasis akrual pada 2015," kata Azhar, Selasa (7/4). Kendalanya antara lain, ketentuan turunan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 213/PMK.05/2013 tentang sistem akuntansi pemerintah pusat dan pedoman penyusunan laporan keuangan berbasis akrual tidak segera diterapkan. Azhar mengatakan, dalam pengelolaan penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi (migas) di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih terdapat masalah. Masalahnya adalah penetapan target lifting migas dalam APBN/APBN-P tidak didasarkan pada target lifting yang telah disepakati dalam work program and budget antara kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). BPK menemukan masalah penerimaan pajak dan migas senilai Rp 1,12 triliun yang terdiri atas potensi pajak bumi dan bangunan (PBB) migas terutang minimal sebesar Rp 666,23 miliar. Penyebabnya, 59 KKKS tidak menyampaikan surat pemberitahuan objek pajak PBB migas tahun 2013 dan 2014. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak menetapkan PBB Migas terhadap KKKS yang belum mendapat persetujuan terminasi atas wilayah kerjanya dengan potensi kekurangan penerimaan PBB migas tahun 2014 minimal sebesar Rp 454,38 miliar. Persoalan lain yang menjadi perhatian BPK adalah belanja infrastruktur di Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM). BPK menemukan 137 kontrak proyek pembangunan transmisi dan gardu induk yang terhenti. Penyebabnya, pembebasan lahan yang berlarut-larut sehingga izin kontrak tahun jamak tidak diperpanjang. Program ketahanan pangan juga tidak luput dari pengawasan BPK, khususnya program swasembada kedelai. BPK menemukan Kementerian Pertanian (Kemtan) tidak berhasil mencapai target pertumbuhan produksi kedelai sebesar 20,05% per tahun. Target swasembada kedelai tahun 2014 yang sebanyak 2,70 juta ton pun tidak tercapai. BPK juga menemukan adanya masalah dalam perubahan mekanisme pembayaran berupa pembayaran elektronik dengan payment gateway (PG). Di sini terjadi pengabaian risiko hukum, yakni pemilihan vendor dilakukan saat tim e-Kemenkumham belum memiliki kewenangan. Selain itu, rekening bank untuk menampung penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga tidak memiliki izin dari Kementerian Keuangan. Temuan lain BPK adalah program penyaluran subsidi beras untuk masyarakat miskin (raskin) yang tidak tidak sesuai target. Anggaran program subsidi raskin tahun 2014 sebesar Rp 18,16 triliun, tetapi realisasinya hanya Rp 17,19 triliun. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
BPK temukan banyak penyimpangan
JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 3.293 masalah berdampak finansial sebesar Rp 14,74 triliun selama semester I-2014. Rinciannya, masalah yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 1,42 triliun, potensi kerugian negara senilai Rp 3,77 triliun, dan kekurangan penerimaan negara senilai Rp 9,55 triliun. Berdasarkan Ikhtisar Pemeriksaan Semester (IHPS) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) semester II 2014, BPK mengungkapkan 7.950 temuan yang terdiri atas 7.789 masalah ketidak patuhan terhadap peraturan perundang-perundangan senilai Rp 40,55 triliun, dan 2.482 masalah kelemahan sistem pengendalian internal (SPI). Ketua BPK Harry Azhar Azis mengatakan, pada semester II tahun lalu, BPK memeriksa 651 objek pemeriksaan. Rinciannya: 135 objek pada pemerintah pusat, 479 objek pemerintah daerah dan badan usaha milik daerah (BUMD), serta 37 objek badan usaha milik negara (BUMN) dan badan lainnya. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, BPK menemukan masalah yang perlu mendapat perhatian pemerintah pusat. "Persiapan pemerintah pusat belum sepenuhnya efektif untuk mendukung penerapan Sistem Akuntansi Pemerintah (SAP) berbasis akrual pada 2015," kata Azhar, Selasa (7/4). Kendalanya antara lain, ketentuan turunan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 213/PMK.05/2013 tentang sistem akuntansi pemerintah pusat dan pedoman penyusunan laporan keuangan berbasis akrual tidak segera diterapkan. Azhar mengatakan, dalam pengelolaan penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi (migas) di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih terdapat masalah. Masalahnya adalah penetapan target lifting migas dalam APBN/APBN-P tidak didasarkan pada target lifting yang telah disepakati dalam work program and budget antara kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). BPK menemukan masalah penerimaan pajak dan migas senilai Rp 1,12 triliun yang terdiri atas potensi pajak bumi dan bangunan (PBB) migas terutang minimal sebesar Rp 666,23 miliar. Penyebabnya, 59 KKKS tidak menyampaikan surat pemberitahuan objek pajak PBB migas tahun 2013 dan 2014. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak menetapkan PBB Migas terhadap KKKS yang belum mendapat persetujuan terminasi atas wilayah kerjanya dengan potensi kekurangan penerimaan PBB migas tahun 2014 minimal sebesar Rp 454,38 miliar. Persoalan lain yang menjadi perhatian BPK adalah belanja infrastruktur di Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM). BPK menemukan 137 kontrak proyek pembangunan transmisi dan gardu induk yang terhenti. Penyebabnya, pembebasan lahan yang berlarut-larut sehingga izin kontrak tahun jamak tidak diperpanjang. Program ketahanan pangan juga tidak luput dari pengawasan BPK, khususnya program swasembada kedelai. BPK menemukan Kementerian Pertanian (Kemtan) tidak berhasil mencapai target pertumbuhan produksi kedelai sebesar 20,05% per tahun. Target swasembada kedelai tahun 2014 yang sebanyak 2,70 juta ton pun tidak tercapai. BPK juga menemukan adanya masalah dalam perubahan mekanisme pembayaran berupa pembayaran elektronik dengan payment gateway (PG). Di sini terjadi pengabaian risiko hukum, yakni pemilihan vendor dilakukan saat tim e-Kemenkumham belum memiliki kewenangan. Selain itu, rekening bank untuk menampung penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga tidak memiliki izin dari Kementerian Keuangan. Temuan lain BPK adalah program penyaluran subsidi beras untuk masyarakat miskin (raskin) yang tidak tidak sesuai target. Anggaran program subsidi raskin tahun 2014 sebesar Rp 18,16 triliun, tetapi realisasinya hanya Rp 17,19 triliun. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News