KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Perlindungan Konsumen Nasional atau BPKN menilai langkah Grab menerapkan denda bagi pembatalan pesanan berpotensi melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No.8/1999). Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rolas Sitinjak mengungkapkan argumentasi penerapan kebijakan tersebut tidak menghapus kemungkinan kerugian bagi konsumen. Terdapat kesalahan argumentasi yang dilakukan Grab dalam kebijakan denda bagi pelanggan tersebut. Rolas menilai lahirnya kebijakan denda itu berakar pada kelemahan sistem Grab. “Namun itu seperti dilimpahkan kepada konsumen,” ujar Rolas dalam keterangan pers, Kamis (20/6).
Dia memahami bahwa Grab ingin mengikis kemunculan pesanan fiktif, di mana terdapat pelanggan iseng yang memesan, namun seketika membatalkan pesanan. Padahal, lanjut Rolas, di lapangan kerapkali kejadian itu berawal dari ulah mitra pengemudi ataupun kelemahan sistem Grab. “Seringkali ada permintaan dari mitra pengemudi membatalkan pesanan kepada konsumen, agar tidak ada pemotongan deposit. Ataupun persaingan antar mitra pengemudi untuk mengerjai sesama rekan, maka ada yang curang membuat pesanan fiktif,” kata Rolas. Hal tersebut merupakan pangkal soal yang terletak pada kelemahan sistem Grab, bukan malah dilimpahkan kepada denda konsumen. “Jadi seharusnya ada inovasi dalam sistem yang bisa menghapus pesanan fiktif, bukan malah penerapan denda,” tegas Rolas. Dia mengutarakan terlepas dari banyaknya pesanan fiktif, kerap kali pelanggan membatalkan karena kekecewaan terhadap kinerja mitra pengemudi. “Terlalu lama, tidak bergerak ke tempat penjemputan. Atau tidak merespon komunikasi pelanggan, jadi tidak sepenuhnya pembatalan pesanan kesalahan pelanggan,” ungkapnya. Rolas mengingatkan kebijakan yang dilakukan Grab tersebut berpotensi melanggar UU Perlindungan Konsumen. Terdapat beberapa ketentuan seperti penjelasan detil dan aturan yang jelas bisa dipahami konsumen yang merupakan tanggungjawab pelaku usaha.
“Kalau selama ini konsumen tidak mengerti mengapa harus didenda atau saldo OVO berkurang karena pembatalan, dengan ketentuan tertentu yang detil, maka Grab bisa melanggar UU Konsumen. Selain itu, dalam logika kebijakan Grab, sepenuhnya konsumen dikorbankan,” tegas Rolas. Advokat sekaligus Ketua Komunitas Konsumen Indonesia David Tobing pun mengungkapkan pendapat senada. Menurutnya, denda akibat pembatalan pemesanan pelanggan transportasi daring disebabkan banyak hal sehingga tidak melulu merupakan kesalahan pelanggan. “Ini yang seharusnya dipahami operator Grab,” tukas David. Di sisi lain, dia menyimpulkan persoalan pembatalan pesanan oleh konsumen adalah bagian risiko usaha aplikator. Selama ini, lanjut David, aplikator tersebut hanya menyediakan jasa pemesanan bukan sebagaimana operator transportasi yang mengeluarkan biaya operasional murni, seperti mitra pengemudi di lapangan. “Perbaikannya itu di internal, bukan membebani konsumen lagi,” ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .