BPKP Bakal Audit Proyek K/L



JAKARTA. Desakan Wakil Presiden soal pengkajian kembali harga pengadaan barang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 mulai mendapat sambutan. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berniat mengaudit biaya proyek yang diajukan departemen dan lembaga. Kepala BPKP Didi Widayadi menjelaskan, lembaganya bakal melakukan review pengadaan APBN 2009. Pasalnya, pengajuan anggaran dilakukan saat harga sedang tinggi-tingginya. Padahal, "Harga barang sekarang sudah turun," kata Didi lewat pesan pendek kepada KONTAN, di Jakarta, Jumat (16/1).

Didi menghitung, dengan nilai proyek sekarang, jumlah barang yang diperoleh semestinya bisa lebih banyak dan berkualitas. Atau, jika tidak sebagian duit dikembalikan ke negara. Mantan Inspektur Pengawasan Umum Polri ini menambahkan, titik paling rawan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa departemen dimulai saat perencanaan, penganggaran, dan pelelangan. Modusnya bervariasi, mulai dari pengadaan yang sejak awal sudah diarahkan pemenangnya hingga penggelembungan harga alias mark up. "Belum lagi intervensi pimpinan dan oknum eksternal," imbuh Didi. Makanya, ia memberi kisi-kisi, salah satu indikator pengelolaan anggaran yang bersih oleh departemen dan lembaga adalah efisiensi belanja barang APBN 2009. Nah, buat mengantisipasi penyelewengan APBN, selain mengaudit harga, Didi mengaku bakal bekerjasama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) terutama untuk pengadaan barang yang bersifat strategis. Harapannya, kedua institusi ini bisa memberikan review bersama dan rekomendasi penyelesaian saat timbul persoalan. Sekadar mengingatkan, pekan lalu, pemerintah mengaku bakal mengurangi anggaran belanja dalam APBN 2009. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, belanja negara buat sejumlah proyek semestinya bisa turun karena harga barang kini telah meluruh. Kalla yakin, belanja pemerintah tahun ini akan lebih kecil dari jumlah yang tercantum dalam APBN 2009 sebesar Rp 1.037 triliun. Dengan begitu, defisit anggaran seharusnya tak sampai membengkak menjadi Rp 132 triliun atau sekitar 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: