BPKP laporkan ke DPR, BPJS Kesehatan catat defisit Rp 9,151 triliun tahun lalu



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp 9,151 triliun selama 2018.

Hal itu dikatakan Kepala BPKP Ardan Adiperdana dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR, Senin (27/5). Ia mengatakan, BPKP melakukan audit terhadap tiga aspek.

Pertama, sistem kepesertaan, manajemen iuran, dan piutang. Kedua, sistem pelayanan dan biaya operasional. Ketiga, strategic purchasing. Audit dilakukan terhadap 208.054.199 orang yang menggunakan BPJS Kesehatan. 


Dari jumlah tersebut, jenis kepesertaan dibagi ke dalam 6 segmen yakni segmen PBI APBN, segmen PPU P, segmen PBI APBD, segmen PPU BU, segmen PBPU, dan segmen BP.

Lebih lanju,t BPKP menyatakan, pada aspek sistem kepesertaan manajemen iuran dan penagihan piutang, terdapat permasalahan yakni proses perekaman dan pemeliharaan database yang belum optimal. Hal iitu terlihat dari terdapatnya 27,443 juta data peserta bermasalah.

Dengan rincian 17,17 juta NIK Null/tidak 16 digit, 0.0040 juta NIK berisi karakter alfanumerik lain (^?+), 10,112 juta NIK ganda, 0,213 juta faskes null, dan 0,134 juta nama berisi kata meninggal/alm/special character.

Atas hal itu, BPKP menilai upaya yang perlu dilakukan adalah mengefektifkan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi kepesertaan dan kolektibilitas iuran pada segmen BU dan PBPU dan mempercepat proses data cleansing kepesertaan bermasalah dan pemutakhiran data kepesertaan.

Pada aspek sistem pelayanan dan biaya operasional, terdapat tiga permasalahan yakni peserta non aktif menerima pelayanan, implementasi Permenkes No 36 tahun 2015 yang perlu diperkuat dan kelebihan biaya operasional.

Atas hal itu, BPKP menilai diperlukan langkah-langkah untuk melakukan data cleansing dan pengembangan keterhubungan sistem kepesertaan, iuran, dan layanan serta memperkuat implementasi sistem pencegahan kecurangan pada BPJS Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FTKP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).

Pada aspek implementasi strategic purchasing terdapat beberapa permasalahan. Pertama, pembayaran kapitasi tidak sesuai, KBK belum optimal, dan rujukan tidak sesuai kebutuhan.

Seperti diketahui strategic purchasing pada FKTP tahun 2018 adalah dana kapitasi (untuk layanan dan operasional) sebanyak 89 % atau Rp 13,208,229,000,000 (Rp 13,2 trilun) dan non kapitasi sebanyak 11 % atau sebesar Rp 1,676,862,000,000 (Rp 1,6 triliun).

Sementara realisasi penggunaan kapitasi nya adalah sebanyak 80,98 % atau sebesar 10,696,119,000,000 (Rp 10,6 triliun) dan non kapitasi (SILFA) sebesar 19,02 % atau sebesar Rp 2,512,110,000,000 (Rp 2,5 trilun).

Sedangkan terkait dengan FKRTL dinilai terjadi inefisiensi pembayaran klaim layanan rumah sakit dikarenakan kontrak menggunakan tarif untuk kelas rumah sakit yang lebih tinggi senilai Rp 819 miliar.

Atas permasalahan tersebut, BPKP menilai perlu dilakukan beberapa hal yakni meninjau ulang kebijakan mengenai pemberian dana kapitasi kepada FTKP dan meninjau kembali penetapan kelas rumah sakit secara optimal sebagai bahan penyesuaian perjanjian kerja sama antara BPJS Kesehatan dengan rumah sakit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli