BPN memonitor dan evaluasi terhadap hak atas tanah yang dimiliki korporasi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN) Budi Situmorang menyatakan, saat ini pihaknya terus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap hak – hak atas tanah (HAT) yang dimiliki oleh korporasi.

Terlebih saat ini Komisi II DPR telah membentuk Panja evaluasi dan pengukuran hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pengelolaan lahan (HPL).

“Kita sebenarnya sudah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap HAT, dengan adanya panja ATR/BPN akan dipercepat monitor dan evaluasi,” ujar Budi kepada Kontan.co.id, Senin (13/9).


Budi mengatakan, dari hasil monitoring dan evaluasi, nantinya akan diberikan rekomendasi kepada para pihak termasuk penertiban. Akan tetapi, hal ini sesuai dengan semangat UU Cipta Kerja di mana Kementerian ATR/BPN akan mendorong sanksi administrasi.

Baca Juga: Rocky Gerung disomasi PT Sentul CIty Tbk untuk segera kosongkan dan bongkar rumahnya

Budi menyebut, adanya tanah yang terlantar dibuktikan dengan adanya belum optimalnya hak dimanfaatkan. Meski begitu Ia tidak memerinci daerah/lokasi hak yang belum dioptimalkan dan dari berapa korporasi yang belum mengoptimalkan hak atas tanah yang telah diberikan.

“Sedang dan terus berproses, yang paling jelas dengan tanah terlantar, itu bukti adanya belum optimalnya hak dimanfaatkan. Kalau datanya ada dan lumayan jumlahnya,” ujar Budi.

Lebih lanjut Budi mengatakan, sanksi administrasi yang akan dikenakan bagi korporasi yang tidak mengoptimalkan hak atas tanah yang telah didapat. Yakni tanah yang tidak dioptimalkan tersebut akan diambil kembali oleh negara.

“Di beberapa kasus, yang tidak dimanfaatkan saja yang diambil negara dan yang sudah dimanfaatkan tetap dikuasai pemegang hak. Sanksi pidana adalah upaya terakhir setelah sanksi administrasi tidak diindahkan,” pungkas Budi.

Sementara itu, mengutip situs dpr.go.id, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, ada modus perusahaan-perusahaan yang diberikan HGU tapi tidak dioptimalkan, bahkan tidak digarap. Misalnya, diberi lahan ratusan ribu hektare, yang digarap hanya 2 persen, sisanya diagunkan ke bank.

“Setelah dapat uang lalu hilang. Nah, ini jadi sorotan. Tanah tidak termanfaatkan dengan baik. Tidak ada keuntungan negara dari diterbitkannya HGU itu," ucap Doli.

Sebab itu, Komisi II DPR RI telah membentuk Panja Evaluasi dan Pengukuran hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pengelolaan lahan (HPL). Komisi II DPR RI ingin mendapatkan data kasus tanah secara masif, menganalisis, dan kemudian menyelesaikannya.

Penerbitan HGU untuk sejumlah perusahaan harus betul-betul dioptimalkan untuk kepentingan negara dan bangsa. Ada lagi kasus penerbitan HGU atas lahan, tapi yang digarap melebihi batas wilayahnya, hingga mengambil hak tanah masyarakat.

Baca Juga: Kementerian ATR/BPN catat baru 40% tanah wakaf yang telah bersertifikat

"Modus lain diterbitkannya HGU, misalnya 10 ribu hektare. Tapi, lahan yang digarap bisa lebih dari itu, bisa mencapai ratusan ribu hektare. Itu pasti akan bersentuhan dengan hak orang lain. Terjadilah sengketa. Masyarakat dirugikan dan kelebihan penggarapan tanah itu juga tidak masuk ke kas negara," jelas Doli.

Selain Panja Evaluasi HGU, HGB, HPL, Komisi II juga membentuk dua Panja lainnya, yaitu Panja Pemberantasan Mafia Pertanahan dan Panja Tata Ruang.

Semua Panja ini dibentuk selain dilatarbelakangi banyaknya pengaduan masyarakat soal sengketa tanah, juga ingin menyelesaikan masalah-masalah tanah dengan baik bersama pemerintah.

"Masalah tanah adalah masalah klasik sekaligus akut. Tanah yang ada di republik ini, siapa pun yang mengelolanya, harus kembali ke negara untuk mensejahterakan rakyat. Intinya, semua bagaimana mengoptimalkan setiap jengkal tanah yang ada di republik ini kembali kepada kepentingan negara dan kesejahteraan rakyat," terang Doli.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto