BPOM Siapkan Senjata Baru Berantas Obat Palsu, Publik Bisa Pantau Online



KONTAN.CO.ID - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menghadirkan Kanal Komunikasi Risiko Obat Palsu sebagai sumber informasi resmi bagi masyarakat terkait temuan obat palsu hasil pengawasan BPOM. Kanal ini memuat identitas dan foto produk palsu, modus peredaran, dampak kesehatan akibat konsumsi, serta langkah penegakan hukum yang telah dilakukan.

Kanal khusus tersebut dapat diakses melalui situs resmi BPOM pada menu Hot Issue Obat Palsu di laman https://www.pom.go.id/hot-issue/obat-palsu , serta melalui kanal media sosial resmi BPOM.

Melansir laman pom.go.id, Kepala BPOM Taruna Ikrar menyatakan, kehadiran kanal ini bertujuan meningkatkan kesadaran publik terhadap bahaya obat palsu, mengingat masih terbatasnya akses masyarakat terhadap informasi yang akurat. Kondisi tersebut membuat sebagian masyarakat kesulitan membedakan obat asli dan palsu, sehingga berisiko menjadi korban peredaran ilegal.


Secara global, persoalan obat palsu juga menjadi perhatian serius. World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 1 dari 10 produk medis yang beredar di negara berpendapatan rendah dan menengah merupakan produk substandar atau palsu. WHO pun mendorong otoritas regulasi di setiap negara untuk secara aktif mengomunikasikan temuan obat palsu kepada publik sebagai bentuk edukasi dan pemberdayaan masyarakat.

“Kanal ini merupakan wujud komitmen BPOM dalam memberantas peredaran obat palsu melalui komunikasi risiko kepada masyarakat,” ujar Taruna Ikrar.

Baca Juga: 5 Juta Wajib Pajak Belum Aktivasi Akun Pajak Coretax, Klik Coretaxdjp.pajak.go.id

Dalam kanal tersebut, BPOM merilis delapan produk yang rawan dipalsukan, yakni Viagra, Cialis, Ventolin Inhaler, Dermovate, Ponstan, Tramadol Hydrochloride, Hexymer, dan Trihexyphenidyl Hydrochloride. Produk-produk tersebut kerap ditemukan dalam pengawasan lapangan maupun laporan masyarakat.

Taruna menegaskan, data obat palsu akan terus diperbarui sesuai hasil temuan di lapangan agar masyarakat dapat memantaunya secara berkala.

Obat palsu dinilai sebagai ancaman serius bagi kesehatan karena berpotensi mengandung komposisi zat yang tidak tepat, dosis berlebih atau kurang, tidak mengandung zat aktif, bahkan mengandung bahan berbahaya. Dampaknya bisa berupa keracunan, kegagalan terapi, resistansi obat, ketergantungan, hingga kematian. Selain itu, peredaran obat palsu juga memicu pembengkakan biaya kesehatan, hilangnya produktivitas, serta menurunkan kepercayaan publik terhadap layanan kesehatan.

Untuk menekan peredaran tersebut, BPOM melakukan intensifikasi pengawasan, penertiban, intelijen, dan penyidikan, termasuk patroli siber di platform digital. Sejak 2022 hingga September 2025, BPOM telah mengajukan 14.787 rekomendasi takedown terhadap tautan atau konten yang mempromosikan obat palsu atau obat tanpa izin edar.

Dari sisi penegakan hukum, BPOM mencatat penanganan 107 perkara pada 2023, 120 perkara pada 2024, dan 76 perkara hingga September 2025 terkait produksi dan peredaran obat ilegal, palsu, serta praktik kefarmasian tanpa kewenangan.

Baca Juga: Tak Ada Pajak Baru di 2026, Pemerintah Siapkan Reformasi Sistem dan Pengawasan