BPS: Harga cabai dongkrak pendapatan petani NTB



MATARAM. Badan Pusat Statistik (BPS) Nusa Tenggara Barat (NTB) menyatakan harga cabai yang mencapai Rp 50.000 per kilogram (kg) mampu mendongkrak pendapatan petani di daerah itu, meskipun terjadi peningkatan pengeluaran yang disebabkan naiknya nilai pembelian bibit, bahan bakar minyak dan sarana produksi lainnya. "Membaiknya pendapatan petani cabai di tengah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan sarana produksi terlihat dari nilai tukar petani pada subsektor hortikultura pada Desember yang mengalami peningkatan sebesar 0,18%," kata Kepala Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat Wahyudin di Mataram, Jumat (2/1). Meskipun demikian, kata dia, kenaikan nilai tukar petani pada subsektor hortikultura belum bisa memberikan pengaruh signifikan terhadap pembentukan nilai tukar petani untuk seluruh subsektor pertanian di NTB, pada Desember 2014. Secara gabungan, kata Wahyudin, nilai tukar petani di NTB pada Desember 2014 sebesar 99,92%, mengalami penurunan 0,48% bila dibandingkan dengan keadaan pada November 2014 dengan NTP sebesar 100,40%. Nilai tukar petani di NTB, berada di bawah 100% yang berarti petani di daerah itu mengalami penurunan daya beli karena kenaikan harga produksi relatif lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan harga input produksi dan kebutuhan konsumsi rumah tangganya. Subsektor pertanian yang berkontribusi terhadap penurunan nilai tukar petani di NTB, pada Desember 2014 adalah subsektor perkebunan rakyat yang mengalami penurunan sebesar 2,35%. Hal itu disebabkan peningkatan harga hasil produksi perkebunan, seperti pinang, kopi, kelapa, dan jarak tidak sebanding dengan meningkatnya harga BBM, upah menyiangi, upah pengendalian hama, upah mencangkul, ongkos angkut, pisau, sewa sprayer, parang, gunting pangkas dan pembelian cangkul. Subsektor pertanian lainnya yang juga mengalami penurunan nilai tukar adalah subsektor perikanan yang mengalami penurunan sebesar 0,54%. Hal itu disebabkan karena meningkatnya harga ikan peperek, tembang, julung-julung, kakap, rajungan, tongkol, kembung, gurame, kapasan, kuniran, tidak sebanding dengan peningkatan harga BBM, ongkos angkut, benih udang, jaring insang, keranjang, pelumas, dan upah pemberian pakan. Subsektor peternakan juga mengalami penurunan nilai tukar sebesar 0,98% karena meningkatnya harga sapi potong, kerbau, kuda, telur ayam ras, telur itik, telur ayam buras, ayam ras pedaging, ayam ras petelur dan kambing tidak sebanding dengan peningkatan harga BBM, ongkos angkut dan sarana produksi lainnya. "Jadi kenaikan harga BBM berpengaruh sekali terhadap nilai tukar usaha pertanian di hampir semua subsektor pertanian," ucap Wahyudin. Sementara nilai tukar di subsektor tanaman pangan (padi dan palawija) mengalami peningkatan sebesar 0,33% pada Desember 2014 karena membaiknya harga ketela pohon, kedelai, kacang hijau, kacang tanah, jagung dan gabah. Kenaikan harga komoditas tersebut mampu mengimbangi peningkatan harga BBM, ongkos angkut, pembelian cangkul, sewa traktor tangan, sewa tresher, oli, bibit padi, upah menanam, dan sewa penyemprotan hama. "Tapi kenaikan harga hasil tanaman cabai, padi dan palawija belum bisa berkontribusi besar terhadap peningkatan nilai tukar petani pada Desember 2014. Kenaikan harga BBM sangat berpengaruh sekali terhadap pengeluaran petani dalam berproduksi," ujar Wahyudin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Hendra Gunawan