BPS: Uang Kiriman Pekerja Migran ke Keluarganya Berdampak Pada Penurunan Kemiskinan



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Sebagian besar migran dari negara berpendapatan rendah atau ingin bekerja ke negara maju. Hal ini sejalan dengan pemberian upah yang layak dan juga jauh lebih tinggi di negara maju tersebut.

Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan, masyarakat Indonesia yang bekerja di Amerika Serikat (AS) misalnya, mampu mendapatkan gaji 500% lebih tinggi jika dibandingkan tidak bermigrasi.

“Jadi ini membuktikan bahwa masyarakat pindah ke negara lain (negara maju) karena ingin mendapatkan pendapatan yang lebih dan kesejahteraan yang tinggi,” tutur Amalia dalam agenda ‘Satu Data Migrasi Internasional untuk Indonesia Emas 2045,’ Rabu (20/12).


Dari sisi remitansi, berdasarkan laporan Bank Dunia, juga menunjukkan bahwa uang yang dikirim oleh pekerja migran ke keluarganya ternyata berdampak terhadap penurunan kemiskinan suatu negara di mana keluarga tersebut tinggal.

Artinya selain seseorang bermigrasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, dan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, tetapi juga memberikan dampak lanjutan terhadap keluarga yang ditinggalkan. Ini karena uang yang di transfer tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dan keluar dari jebakan kemiskinan.

Baca Juga: BPS: Indonesia Jadi Negara Pengirim Pekerja Migran Terbesar Kedua di Asia Tenggara

Ia mencontohkan, remitansi dari warga negara Nepal yang bekerja di negara-negara Arab dan Malaysia ternyata memberikan dampak pengurangan kemiskinan hingga 40% selama 10 tahun antara periode 2001 sampai 2011.

Sementara di Indonesia, rumah tangga yang menerima remitansi, memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk jatuh kepada kelompok miskin dan lebih tahan terhadap gejolak atau guncangan ekonomi.

Di samping itu, keluarga yang menerima remitansi dari anggota keluarga yang bekerja di luar negeri juga mampu melakukan konsumsi lebih tinggi dan memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik, dibandingkan keluarga lain dengan kelompok yang sama levelnya, tapi keluarganya tidak ada yang bekerja atau bermigrasi bekerja di luar negeri.

Meski terdapat sisi positifnya, Amalia juga menyampaikan, terdapat juga dampak-dampak yang harus dimitigasi agar dampak negatif tidak muncul dan menyebabkan resiko lanjutan dari adanya migrasi ini.

Ia menyampaikan, di balik manfaat besar dari migran internasional ini, ternyata juga harus menghadapi sejumlah tantangan, seperti risiko non prosedural. Ada juga potensi negatif lainnya seperti perdagangan orang, diskriminasi dan lainnya.

“Ini menandakan bahwa masih adanya gap dalam tata Kelola migrasi internasional yang tentunya memerlukan data untuk dibenahi bersama,” ungkapnya.

Baca Juga: Aturan Terbaru Kementerian Perdagangan, Impor Lebih Longgar Bagi Pebisnis Besar

Sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo, Amalia menyampaikan pentingnya untuk terus mengupayakan pemberian hak dan perlindungan yang maksimal bagi para pekerja migran Indonesia khususnya dan seluruh migran internasional pada umumnya.

Sebab, Ia mencatat pada 2020, migran yang berasal dari Indonesia terbilang cukup banyak, alias menduduki posisi kedua migran terbesar di Asia Tenggara setelah Filipina, dengan 44% dari 4,6 juta migran internasional Indonesia adalah perempuan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari