Brasil digretak, Australia ditimbang



JAKARTA. Vonis eksekusi mati terhadap warga negara Australia dan Brasil, mendidihkan hubungan Indonesia dengan dua negara itu. Tak hanya urusan diplomatik, hubungan dagang dan ekonomi seturut mendidih.

Bahkan sebagai balasan atas keputusan Presiden Brasil Dilma Rousseff yang menunda penyerahan credential atau surat kepercayaan kepada Duta Besar RI, Indonesia akan mengevaluasi hubungan dagang dengan Brasil. Wakil Presiden Jusuf Kalla memastikan, Indonesia lebih diuntungkan jika membekukan sebagian dagang dengan Brasil. "Kita bisa mengurangi impor alat utama sistem persenjataan," kata Kalla, Selasa (24/2).

Sebagai catatan, Indonesia pernah membeli pesawat Super Tucano dan Multi Launcher Rocket System (MLRS) dari Brasil. Kalla menambahkan, pemerintah sedang melihat semua dokumen dan perjanjian dagang dengan Brasil, termasuk mengkaji negara calon pemasok alat perang. Selain senjata, selama ini Indonesia mengimpor sejumlah bahan pangan dari Brasil, seperti jagung, gula, kopi, dan bahan pakan ternak.


Dalam dua tahun terakhir, Indonesia mengimpor 300.000 ton jagung per tahun senilai sekitar US$ 90 juta. Indonesia juga membeli gula tebu sekitar 230.000 ton per tahun senilai sekitar US$ 115 juta per tahun.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tahun lalu nilai ekspor Indonesia ke Brasil sekitar US$ 1,5 miliar, sementara nilai impor US$ 2,5 miliar. "Impor terbesarnya adalah ampas industri untuk bahan pakan ternak US$ 850 juta," ungkap Sasmito Hadi Wibowo, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS.

Nah, ihwal relasi dagang dengan Australia, Kalla menyatakan belum berniat membekukannya. Maklum, Australia pemasok utama sejumlah bahan pangan penting bagi Indonesia. Mulai dari gandum, sapi, gula, buah-buahan hingga garam.

Nyaris semua sapi impor dari Australia, sementara pasokan garamnya paling dominan di banding negara lain. BPS mencatat, dua tahun lalu neraca dagang Indonesia dengan Australia defisit sekitar US$ 1,86 miliar, naik 8,14% dari tahun sebelumnya.

Tahun lalu, rapor neraca dagang kita juga defisit US$ 1,79 miliar. Agaknya, persoalan itulah yang membuat pemerintah berpikir dua kali untuk mengutak-atik hubungan dagang dengan Australia.

Kendati, di sisi lain banyak korporasi besar Australia yang berbisnis di Indonesia. Mulai dari perbankan, kesehatan, makanan, transportasi, hingga pertambangan (lihat infografik). Kalkulasi di atas kertas, sebenarnya masih sepadan. Jadi, perlu juga sesekali menggertak untuk menegakkan kedaulatan bangsa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto