Brasil, tuan rumah yang menelan pil pahit



RIO De Janeiro. Gelora panas tak cuma hinggap di bursa finansial global. Sepekan belakangan, seluruh negeri Brasil tengah membara. Pada Jumat (21/6) lalu, tercatat lebih dari 2 juta orang turun ke sudut-sudut jalan. Jumlah demonstran terus membengkak. Ribuan demonstran mengepung gedung-gedung pemerintah.

Aksi demonstransi yang awalnya berpusat di Rio de Janeiro, telah menyebar ke hampir 80 kota di seluruh penjuru Brasil. Ini adalah aksi demo terbesar yang pernah terjadi dalam dua dekade belakangan. Free Fare Movement menjadi pusat aksi demonstransi di Negeri Samba tersebut. Para demonstran meneriakkan hal yang sama : penurunan ongkos transportasi publik. Kemarahan yang membayangi rakyat Brasil berawal dari rencana pemerintah menaikkan tarif transportasi, meliputi bus dan kereta bawah tanah (subway).

Latar belakang Kenaikan tarif transportasi publik ini dilatarbelakangi oleh tujuan pemerintah yang ingin memperbesar pendapatan negara. Soalnya, dalam waktu dekat, Brasil punya setumpuk pekerjaan rumah. "Brasil membutuhkan reformasi politik, pajak dan fasilitas publik. Kita tidak siap menjadi tuan rumah Piala Dunia," ujar seorang demonstran, Savina Santos.


Petaka Piala Dunia dan Olimpiade

Brasil didaulat menjadi tuan rumah piala dunia sepakbola oleh FIFA pada tahun depan. Selanjutnya, di 2016, Brasil menjamu para peserta Olimpiade. Dua perhelatan akbar itu diperkirakan menyedot dana sekitar US$ 26 miliar. Aksi protes massa mulai menunjukkan hasil. Jumat malam (21/6), Presiden Dilma Vana Rousseff dikabarkan menggelar pertemuan mendadak dengan seluruh jmenteri. Memasuki pekan kedua aksi demonstrasi, massa yang marah mendesak Rousseff dengan lebih banyak tuntutan.

Sejumlah agenda yang disodorkan rakyat adalah memberantas korupsi, menurunkan pajak, menggenjot pertumbuhan, dan membangun lebih banyak fasilitas publik. Seperti rumah sakit dan sekolah, dibandingkan gencar membangun megaproyek Piala Dunia dan Olimpiade.Wajah ekonomi Brasil memang sedang lesu. Pasca menikmati masa keemasan sebagai negara dengan pertumbuhan tertinggi di kawasan Amerika Latin, Brasil kini memasuki masa ketidakpastian ekonomi. Tengok saja, perekonomian Brasil tahun lalu tumbuh 1%. Di periode yang sama, inflasi bertengger di level 6,5%.

Akhir Mei kemarin, ekonomi hanya tumbuh 0,6%. Brasil juga mencatatkan defisit neraca perdagangan untuk pertama kali dalam beberapa tahun belakangan. Bursa saham Brasil, Bovespa, hingga Mei kemarin anjlok 20%, mencerminkan pesimisme para investor pasar modal. Aksi protes juga menyebabkan mata uang Brasil, Real terperosok ke level terendah selama empat tahun. Saat ini, Real diperdagangkan pada level 2.275 per dollar Amerika Serikat (AS). 

Editor: Dessy Rosalina