KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saham PT Barito Renewables Energy Tbk (
BREN) didepak dari Indeks FTSE Russel karena dianggap tidak memenuhi persyaratan
free float. Dalam keterangan tertulis FTSE Russel pada Kamis (19/9), BREN dinilai tidak memenuhi aturan
free foat restriction alias restriksi batas minimal saham yang dimiliki oleh pemegang saham publik. Hal itu terkait aturan konsentrasi pemegang saham tinggi dan kebijakan serta pedoman penghitungan ulang FTSE Russell. Aturan ini untuk menghindari konsentrasi tinggi pemegang saham tertentu dalam saham yang menjadi konstituen indeks FTSE.
FTSE pun melihat, ada empat pemegang saham yang mengendalikan 97% dari total saham yang diterbitkan. Oleh karena itu, BREN pun dikeluarkan dari Indeks FTSE Russel efektif mulai Rabu (25/9) pekan depan.
Baca Juga: IHSG Terjun 2,05% pada Hari Ini (20/9), BRIS, BBCA, ARTO Paling Banyak Net Buy Asing Sebelumnya, BREN dijadwalkan masuk ke dalam indeks FTSE Global Equity Series - Large Cap yang akan berlaku per 20 September 2024 dan efektif pada 23 September 2024. “BREN efektif masuk pada pembukaan hari Senin, 23 September 2024, dan akan dihapus dari Indeks FTSE Russel mulai pembukaan hari Rabu, 25 September 2024. Ini akibat ada empat pemegang saham yang menguasai 97% dari total saham yang diterbitkan BREN,” ujar FTSE dalam pengumuman tersebut. Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy melihat, alasan FTSE dan semua indeks lain memasukkan atau mengeluarkan emiten sebagai konstituen adalah berdasarkan informasi di market yang sudah bersifat publik. “Data ini sudah ada di BEI maupun KSEI. Emiten tidak bisa intervensi untuk menentukan keanggotaannya di suatu indeks,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (20/9).
Baca Juga: Menilik Prospek Kinerja Saham Blue Chip yang Masih Laggard Dalam kasus BREN, informasi mengenai porsi kepemilikan pengendali yang mencapai lebih dari 90%, sebenarnya sudah ada dan termuat sejak di prospektus IPO maupun data kepemilikan saham di KSEI saat ini. Budi pun mempertanyakan apa alasan FTSE baru sekarang ini mengeluarkan BREN sebagai konstituen, setelah sebelumnya mengumumkan bahwa BREN layak bergabung di dalam indeks global tersebut. “Itu data publik. Namun, mengapa baru sekarang FTSE menjadikan porsi pertimbangan itu sebagai alasan untuk mengeluarkan BREN sebagai konstituen? Harusnya mereka sudah tahu (soal
free float),” ungkap dia. Budi mencermati, FTSE seharusnya bisa lebih berhati-hati dalam menentukan emiten yang layak menjadi konstituen dalam indeks mereka. Sebab, keputusan FTSE memiliki dampak yang cukup besar bagi kinerja emiten maupun pasar saham secara keseluruhan.
Baca Juga: Pengamat Pasar Modal: OJK dan BEI Perlu Pertanyakan Soal BREN ke FTSE Russel Akibat keputusan ini, volatilitas harga BREN jadi naik dan yang dirugikan pada akhirnya adalah para investor ritel. Melansir RTI, BREN ditutup di harga Rp 8.825 per saham pada akhir perdagangan Jumat (20/9). Harga saham BREN merosot 19,95% dari harga pada akhir perdagangan Kamis (19/9) kemarin. “FTSE sendiri yang mengumumkan BREN masuk, tapi sekarang belum resmi berlaku malah sudah dicoret,” tuturnya. BREN saat ini memiliki kapitalisasi pasar alias
market cap sebesar Rp 1.180,66 triliun. Hari ini, BREN ada di posisi kedua saham
top losers. Alhasil, penurunan harga saham BREN membebani gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hari ini. Pada akhir perdagangan Jumat ini, IHSG bertengger di level 7.743, turun 2,05% dari penutupan perdagangan kemarin.
Baca Juga: Kena Masalah Free Float, Saham BREN Didepak dari Indeks FTSE Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dilihat Budi juga perlu ikut aktif dengan mempertanyakan kebijakan FTSE. Menurut Budi, OJK bisa menyurati pihak FTSE agar bisa disampaikan secara transparan mengapa manajemen indeks global itu tidak cermat dan menganulir keputusannya untuk memasukan BREN sebagai konstituen. “Apalagi, BREN itu kapitalisasi pasarnya besar sekali di Indonesia, sehingga berpengaruh besar ke pasar saham Tanah Air jika terjadi sesuatu,” ungkapnya. Pengamat pasar modal sekaligus Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat mengatakan, salah satu hal yang dilihat oleh FTSE dalam menilai kinerja konstituen adalah kapitalisasi pasar sang emiten. Jika hanya dilihat dari faktor ini, kapitalisasi pasar BREN memang yang paling besar di BEI. Namun, ada beberapa faktor yang sebenarnya wajib diperhatikan oleh FTSE dalam memilih konstituen, yaitu terkait jumlah
free float sang emiten. Ketentuan ini sebenarnya sudah bisa dilihat oleh FTSE sejak BREN melakukan
initial public offering (IPO) alias melantai di bursa.
Baca Juga: IHSG Rekor, Dua Saham Bank Big Caps Menyentuh ATH Menurut Teguh, syarat minimal jumlah saham
free float ini terkait dengan
good corporate governance (GCG). BEI sendiri juga menentukan syarat
free float minimal sebesar 7,5%. “Kalau ada pelanggaran seperti itu, artinya GCG perusahaan kurang bagus,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (20/9). Dalam beberapa bulan terakhir, arus dana asing tercatat masuk ke pasar saham Indonesia. Melansir RTI, aliran dana asing yang masuk ke Indonesia dalam sebulan terakhir mencapai Rp 14 triliun. BREN menjadi salah satu emiten yang dibeli oleh investor asing. Dalam sebulan terakhir, BREN dibeli asing sebanyak Rp 711 miliar. Salah satu sentimen yang membuat asing masuk ke BREN adalah keputusan FTSE memasukan BREN sebagai konstituen. Apalagi, saham BREN saat ini valuasinya sudah mahal.
Price to earning ratio (PER) BREN saat ini sudah di level 617,73x dan
price to book value (PBV) tercatat 148,46x. “Dengan adanya keputusan baru FTSE, sentimen positifnya mungkin asing tetap masuk ke pasar saham Indonesia, tetapi bakal memilih emiten
big caps yang kinerjanya lebih baik, seperti BBCA, BMRI, ASII, atau TLKM,” tuturnya.
Baca Juga: Laju IHSG Semakin Kencang, BBRI, BBCA dan BBNI Banyak Diburu Asing Kemarin Kinerja IHSG yang terbebani penurunan saham BREN sebenarnya pernah terjadi sebelumnya. IHSG sempat terjun ke bawah 7.000 akibat saham BREN masuk papan pemantauan khusus (PPK) yang menerapkan mekanisme perdagangan
full call auction (FCA) pada 29 Mei 2024. Teguh melihat, dengan market cap BREN yang besar, kinerja IHSG bisa kembali terbebani. Jika penurunan saham BREN lanjut sampai ke Rp 5.000 per saham, bukan tidak mungkin kinerja IHSG bisa ikut turun sekitar 3%-4% nantinya. Namun, kemungkinan penurunan kinerja IHSG tidak akan separah pada kejadian beberapa bulan lalu tersebut. “Saat itu, suku bunga masih tinggi dan rupiah tengah terkoreksi. Akibatnya, IHSG ambrol. Saat ini, sentimen positif di pasar saham sudah banyak, sehingga kinerjanya masih bisa baik ke depan,” tuturnya. Tak hanya BREN, kinerja emiten milik Prajogo Pangestu lain juga memiliki masalah yang sama. Pada perdagangan hari ini, tiga emiten milik Prajogo lainnya juga terjun kinerjanya.
Baca Juga: Barito (BREN) Ekspansi Panas Bumi 102,6 MW, Kucurkan Investasi Rp 5,3 Triliun Saham PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (
CUAN) hari ini turun 18,08%. PT Barito Pacific Tbk (
BRPT) sahamnya turun 10,88% dan PT Chandra Asri Pacific Tbk (
TPIA) terkoreksi 10,56%. “GCG mereka tidak bagus dan valuasi mereka semua sangat mahal. Walaupun kinerja fundamentalnya tidak jelek, tetapi harganya mahal sekali,” ungkapnya. Alhasil, baik Budi maupun Teguh belum menyarankan investor untuk mengoleksi saham BREN. Kinerja saham keempat emiten Prajogo juga dinilai sangat fluktuatif dan berpotensi merugikan investor ritel. “Jika investor yakin dengan prospek industri energi baru terbarukan (EBT), ada banyak pilihan emiten lain yang kinerjanya bagus dan harganya lebih masuk akal. Contohnya,
PGEO,” tutur Teguh.
Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana melihat, pergerakan saham BREN ada di level
support Rp 8.625 per saham dan
resistance di Rp 9.625 per saham. Herditya pun masih merekomendasikan
wait and see untuk BREN. Equity Analyst Kanaka Hita Solvera William Wibowo melihat, secara teknikal, harga BREN sedang berada di fase koreksi jangka pendek-menengah setelah mengalami
uptrend selama beberapa minggu berturut-turut. Pergerakan saham BREN dilihat ada di level
support Rp 6.400 per saham dan
resistance Rp 10.000 per saham. William pun merekomendasikan
buy on weakness untuk BREN dengan target akhir tahun Rp 12.000 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati