BRG ingin tanam sagu di restorasi lahan gambut



JAKARTA. Badan Restorasi Gambut (BRG) berupaya merestorasi lahan gambut seluas 400.000 hektare mulai tahun depan. Untuk merealisasikan target tersebut, butuh dana sekitar Rp 1,44 triliun.

Sejauh ini baru tersedia dana Rp 912,5 miliar. Untuk itu BRG tengah berupaya mencari sumber pembiayaan lain. Salah satunya adalah dengan mengajak pihak lain untuk berinvestasi di lahan gambut.

Deputi bidang Perencanaan dan Kerja Sama BRG Budi Wardhana mengatakan BRG tengah menjajaki pertemuan dengan sejumlah perusahaan baik domestik maupun asing. Tujuannya adalah agar mereka menggelontorkan sejumlah dana atau berinvestasi dalam pengembangan lahan gambut.


Selain itu, BRG juga berjanji akan mengedukasi masyarakat di sejumlah daerah supaya memanfaatkan dana desa yang digunakan untuk program ekonomi dapat dialokasikan untuk lahan gambut. "Jadi kebutuhan dana restorasi dapat ditutupi dari beberapa sumber pembiayaan," ujarnya akhir pekan lalu.

Ia menjelaskan, pemerintah menugaskan BRG dapat merestorasi gambut seluas 2 juta ha hingga tahun 2020 mendatang. Lahan tersebut terdiri dari 1.081.581 ha merupakan areal tidak berizin dan 1.410.944 ha lainnya berizin.

Lahan tersebut berada di tujuh provinsi wilayah kerja, yakni Riau. Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua. Untuk merestorasi 2 juta ha lahan gambut itu, total dibutuhkan Rp 9,19 triliun.

Budi menjelaskan pada tahun ini, pihaknya telah memulai proyek restorasi di lahan gambut seluas 600.000 ha. Lahan tersebut terletak di Pulang Pisau di Kalimantan Tengah, Meranti di Riau, serta OKI dan Musi Banyuasin di Sumatera Selatan.

Dari proyek tersebut, sekitar 20% dari luasan 600.000 ha merupakan objek program fisik BRG di 104 desa dengan penanganan yang mengacu pada tingkat kerentanan kerusakan.

Kendati demikian, program BRG menanam sagu di lahan gambut mendapat penolakan dari sejumlah pihak. Guru Besar Ilmu Tanah Universitas Sumatera Utara, Abdul Rauf mengatakan potensi tanaman sagu dan jelutung secara ekonomi tak akan mampu menandingi kelapa sawit apabila tanaman tersebut sama-sama dibudidayakan di lahan gambut.

Oleh karena itu, ia mendesak BRG tidak mengarahkan petani untuk menanam sagu dan jelutung di lahan gambut.

“Jelutung maupun sagu memang cocok ditanam di lahan gambut, tetapi potensi ekonominya tetap jauh di bawah sawit. Jadi kebijakan BRG itu perlu dipertanyakan, karena baik jelutung maupun sagu itu secara ekonomi tidak feasible,” imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan pada dasarnya tanaman apapun dapat dikembangkan di lahan gambut dengan teknologi ekohidro farming.

Sebagaimana Undang-Undang No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, petani bebas memilih tanaman apapun yang menguntungkan baginya.

“Saat ini pilihan petani ya sawit yang menguntungkan menurut petani. BRG dan siapapun harus menghormati pilihan petani itu,” kata Tungkot.

Menurutnya, sagu dan jelutung belum ada bukti emperis menguntungkan petani. Buktinya, kata Tungkot, tidak ada petani yang mengembangkan kedua tanaman itu. “BRG perlu membuktikan secara emperis bahwa sagu dan jelutung menguntungkan petani. Jika untung petani pasti pilih,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto