KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen kuat dalam melindungi ekosistem lahan gambut secara nasional maupun internasional. Salah satunya yaitu dengan melanjutkan restorasi gambut dengan target seluas 1,2 juta hektare hingga tahun 2024 nanti. Adapun tujuh provinsi yang menjadi prioritas restorasi gambut adalah Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua. Dalam pelaksanaannya, BRGM pun mempunyai strategi 3R, yaitu
rewetting, revegetation dan
revitalization. Rewetting adalah pembasahan kembali lahan gambut dengan pembangunan sekat kanal, sumur bor dan timbun kanal. Revegetation adalah penanaman kembali melalui persemaian dan penanaman, sementara
revitalization of livelihood adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Saat ini BRGM sudah membangun sekat kanal sebanyak 6.947 unit, penimbunan kanal sebanyak 427 unit, sumur bor sebanyak 15.594 unit. Sementara revegetation sudah berjalan 1.709,35 hektare, serta terdapat 1.214 paket revitalisasi ekonomi,” ujar Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRGM, Myrna Safitri dalam COP-26 UNFCCC di Glasgow, Skotlandia yang diikuti secara virtual dari Jakarta.
Baca Juga: Daftar UMP 2022 se-Jawa, daerah mana yang tertinggi? Lebih lanjut Myrna membeberkan, program 3R tersebut dilaksanakan dan diintegrasikan ke dalam rencana pembangunan melalui program Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG). “Program-program ini menjadi salah satu prioritas pemerintah pusat dan daerah dan juga di dunia internasional. Banyak pelajaran yang bisa dipetik, bahwa merestorasi gambut tidaklah mudah terlebih dengan situasi seperti Indonesia. Di mana banyak orang yang bergantung hidupnya atau mata pencahariannya dari gambut,” pungkas Myrna. “Oleh karena itu, pembangunan yang akan dijalankan pun harus seimbang, lantaran tidak hanya untuk lingkungan saja melainkan juga bagaimana caranya bisa meningkatkan ekonomi masyarakat secara umum,” sambungnya. Pembangunan desa berbasis lanskap ekosistem gambut ini mengedepankan partisipasi masyarakat, termasuk melibatkan wanita dalam komunitas tersebut. Kolaborasi antar pemangku kepentingan dan masyarakat inilah yang nantinya bisa melindungi dan menjaga eksosistem gambut. Sementara itu, Profesor Mark Reed dari Scotland's Rural College (SRUC) menjelaskan bagaimana standarisasi pengukuran biofisik dalam penelitian dan pemantauan lahan gambut.
Baca Juga: Tetapkan UMP DKI 2022 jadi Rp 4,45 juta, Anies siapkan 7 program kesejahteraan buruh “Ada banyak hal yang harus dilakukan dalam restorasi gambut, mulai dari membangun konsensus tentang variabel apa saja yang harus diukur, set apa saja yang hilang dan apakah domain yang hilang itu harus diukur dalam setiap tingkat akumulasi yang ditetapkan atau tidak. Lalu bagaimana mengukur tingkat dekomposisi serasah hingga akhirnya menjadi laporan data yang kontekstual,” ungkap Mark. Dari data-data itulah, menurut Mark, maka bisa dilihat perbandingan antara iklim, hidrologi, keanekaragaman hayati dan api. Tak hanya data iklim, pihaknya juga menyebut pentingnya mengetahui data sosial ekonomi wilayah tersebut, sehingga nantinya dapat ditemukan penanganan yang tepat dalam restorasi gambut. Di sisi lain, Rhupes Bhomia dari Centre for International Forestry Research mengatakan, restorasi gambut yang efektif dan tahan lama meliputi beberapa hal di antaranya biofisika, sosial, ekonomi dan pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi