JAKARTA. Sengketa antara pemilikan gedung Menara Mulia atau kantor BRI II di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta mencapai titik klimaks. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) berhasil mengambil alih pemilikan gedung tersebut, Selasa (8/7). Namun, pengelola kantor tersebut, yakni PT Prima Generasi Pratama (PGP) masih tak terima.Pengambilalihan gedung berlangsung setelah Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Gusrizal, mengeluarkan surat penetapan eksekusi terhadap gedung BRI II, Senin (7/7). Sehari kemudian, eksekusi berlangsung dengan melibatkan aparat kepolisian dan kejaksaan. Meski demikian, eksekusi berlangsung lancar, tanpa ada bentrokan. "Eksekusi ini sudah sesuai aturan hukum yang ada," kata Sekretaris Perusahaan BRI, Budi Satria, Rabu (9/7).Asal tahu saja, eksekusi ini merupakan kelanjutan dari sengketa antara BRI dan Yayasan Dana Pensiun BRI melawan PGP dan anak usahanya, yakni PT Mulia Persada Pacific (MPPC). Kasus ini bermula, saat Yayasan Dana Pensiun BRI yang memiliki lahan seluas 3,5 hektare menggandeng PGP untuk membangun Gedung BRI II dan BRI III, termasuk Gedung Parkir delapan lantai pada tahun 1990. MPPC bertugas sebagai sebagai pelaksana pembangunan.Dalam perjalanan kerjasama itu, BRI menuding MPPC wanprestasi karena menyalahi sejumlah perjanjian. MPPC dinilai tidak memenuhi sejumlah kesepakatan, seperti tidak menyediakan ruangan dan fasilitas untuk shower sejumlah 50 unit di area parkir dan kantin untuk fasilitas gedung.MPPC juga tidak dapat membangun gedung BRI III karena Pemda DKI tidak memberikan izin. Soalnya, pembangunan gedung tersebut tidak sesuai dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB). Atas hal itu, BRI membatalkan perjanjian kerjasama. BRI juga merasa sebagai pemilik gedung tersebut. Tak ayal, kasus ini pun bergulir di meja hijau. Terakhir, dalam putusan peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) memerintahkan MPPC untuk angkat kaki dari Gedung Bank BRI II dan Gedung parkirnya selambat-lambatnya 30 Oktober 2013. Namun, eksekusi baru berlangsung kemarin.Salahi prosedurKuasa hukum MPPC dan PGP, Fredrich Yunadi mengatakan eksekusi secara paksa ini telah menyalahi prosedur hukum yang berlaku. "Eksekusi itu bertentangan dengan hukum yang berlaku," ujar Fredrich.Keluarnya putusan eksekusi oleh Ketua PN Jakarta Pusat sangat mencurigakan. Mengingat, putusan itu keluar secara tiba-tiba. Apalagi, surat tersebut keluar pada masa tenang pemilihan presiden dan wakil presiden dan langsung dilaksanakan tanpa ada prosedur lain. "Ini tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku," tandas Fredrich.Fredrich bilang, seharusnya langkah pertama yang dilakukan bila dieksekusi adalah adanya amaning atau peringatan. Lalu harusnya ada sita eksekusi dan terakhir eksekusi riil, tapi hal itu tidak dilakukan. Bila eksekusi riil, seharusnya ada rapat koordinasi antara pengadilan, Polda, Polsek, Polres, dan pihak Kodam sampai jajaran di bawahnya, termasuk lurah dan camat. "Namun hal itu juga tidak dilakukan," ujar Fredrich.Karena itu, Fredrich, mengaku akan melaporkan kejadian ini langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM, Djoko Suyanto, Kamis (10/7). Ia juga akan mengirim aduan ke Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terkait kejanggalan penetapan surat eksekusi dari ketua PN Jakarta Pusat.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
BRI ambil alih Mulia Tower dari Djoko Tjandra
JAKARTA. Sengketa antara pemilikan gedung Menara Mulia atau kantor BRI II di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta mencapai titik klimaks. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) berhasil mengambil alih pemilikan gedung tersebut, Selasa (8/7). Namun, pengelola kantor tersebut, yakni PT Prima Generasi Pratama (PGP) masih tak terima.Pengambilalihan gedung berlangsung setelah Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Gusrizal, mengeluarkan surat penetapan eksekusi terhadap gedung BRI II, Senin (7/7). Sehari kemudian, eksekusi berlangsung dengan melibatkan aparat kepolisian dan kejaksaan. Meski demikian, eksekusi berlangsung lancar, tanpa ada bentrokan. "Eksekusi ini sudah sesuai aturan hukum yang ada," kata Sekretaris Perusahaan BRI, Budi Satria, Rabu (9/7).Asal tahu saja, eksekusi ini merupakan kelanjutan dari sengketa antara BRI dan Yayasan Dana Pensiun BRI melawan PGP dan anak usahanya, yakni PT Mulia Persada Pacific (MPPC). Kasus ini bermula, saat Yayasan Dana Pensiun BRI yang memiliki lahan seluas 3,5 hektare menggandeng PGP untuk membangun Gedung BRI II dan BRI III, termasuk Gedung Parkir delapan lantai pada tahun 1990. MPPC bertugas sebagai sebagai pelaksana pembangunan.Dalam perjalanan kerjasama itu, BRI menuding MPPC wanprestasi karena menyalahi sejumlah perjanjian. MPPC dinilai tidak memenuhi sejumlah kesepakatan, seperti tidak menyediakan ruangan dan fasilitas untuk shower sejumlah 50 unit di area parkir dan kantin untuk fasilitas gedung.MPPC juga tidak dapat membangun gedung BRI III karena Pemda DKI tidak memberikan izin. Soalnya, pembangunan gedung tersebut tidak sesuai dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB). Atas hal itu, BRI membatalkan perjanjian kerjasama. BRI juga merasa sebagai pemilik gedung tersebut. Tak ayal, kasus ini pun bergulir di meja hijau. Terakhir, dalam putusan peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) memerintahkan MPPC untuk angkat kaki dari Gedung Bank BRI II dan Gedung parkirnya selambat-lambatnya 30 Oktober 2013. Namun, eksekusi baru berlangsung kemarin.Salahi prosedurKuasa hukum MPPC dan PGP, Fredrich Yunadi mengatakan eksekusi secara paksa ini telah menyalahi prosedur hukum yang berlaku. "Eksekusi itu bertentangan dengan hukum yang berlaku," ujar Fredrich.Keluarnya putusan eksekusi oleh Ketua PN Jakarta Pusat sangat mencurigakan. Mengingat, putusan itu keluar secara tiba-tiba. Apalagi, surat tersebut keluar pada masa tenang pemilihan presiden dan wakil presiden dan langsung dilaksanakan tanpa ada prosedur lain. "Ini tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku," tandas Fredrich.Fredrich bilang, seharusnya langkah pertama yang dilakukan bila dieksekusi adalah adanya amaning atau peringatan. Lalu harusnya ada sita eksekusi dan terakhir eksekusi riil, tapi hal itu tidak dilakukan. Bila eksekusi riil, seharusnya ada rapat koordinasi antara pengadilan, Polda, Polsek, Polres, dan pihak Kodam sampai jajaran di bawahnya, termasuk lurah dan camat. "Namun hal itu juga tidak dilakukan," ujar Fredrich.Karena itu, Fredrich, mengaku akan melaporkan kejadian ini langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM, Djoko Suyanto, Kamis (10/7). Ia juga akan mengirim aduan ke Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terkait kejanggalan penetapan surat eksekusi dari ketua PN Jakarta Pusat.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News