BRI Banjir Likuiditas dari Duit Pemeritah



JAKARTA. Pengelola PT BRI Tbk. percaya diri tak terpengaruh krisis likuiditas. Sebagai pelaksana pengiriman duit pemerintah pusat ke daerah atau treasury single account, manajemen yakin likuiditas bank bakal terjaga.

Direktur Utama BRI Sofyan Basir mengatakan, saat ini pemerintah sudah menyalurkan dana ke pemerintah daerah dan berbagai proyek. Meski tidak bisa memastikan berapa jumlah terakhir duit pemerintah di BRI, Sofyan bilang, jika merujuk ke janji Pemerintah maka dana yang akan melalui BRI sebesar Rp 120 triliun.

Menurut Sofyan, dana milik pemerintah pusat itu sudah tersalurkan ke pimpinan proyek yang ada di daerah melalui unit-unit atau ke cabang-cabang BRI. "Setelah unit-unit dari pemerintah yang ada di daerah menerimanya biasanya mereka menyimpan dana itu balik lagi ke BRI lagi," tuturnya Senin kemarin (24/11).


Kondisi inilah yang menyebabkan dana pihak ketiga yang terkumpul di BRI menjadi menggendut. Total dana masyarakat di BRI per September naik dari Rp 142,9 triliun pada 2007 menjadi Rp 175,4 triliun pada 2008 atau naik sekitar 22,7%.

Kontrak treasury single account ini baru berakhir pada penutup 2010 mendatang. Itu sebabnya, Sofyan yakin likuiditas BRI tak akan kering hingga dua tahun mendatang.

Meskipun begitu, pengelola BRI tak ingin santai-santai saja. Mereka tetap mencari dana yang ongkosnya murah, seperti tabungan. BRI berniat memperbesar basis nasabah. Caranya dengan membuat berbagai promosi yang menawarkan hadiah untuk para nasabah.

Lebih hati-hati

Meski sedang kebanjiran likuiditas, Sofyan mengaku BRI tetap berhati hati dalam menyalurkan kredit. "Kami akan lebih teliti di sisa tahun ini dan tahun 2009 nanti," katanya.

Pengelola BRI memilih sikap hati-hati karena kondisi ekonomi global yang masih tidak menentu. BRI memprediksi, situasi bisnis global yang lesu juga mempengaruhi ekonomi di Indonesia.

BRI akan lebih selektif dalam penyaluran kredit terutama untuk kredit kepada para pengusaha yang berorientasi ekspor. BRI juga lebih memperketat seleksi kredit kepada pengusaha yang menggunakan bahan baku dari luar negeri.

Para pengusaha yang tergantung bahan impor diprediksi harus menanggung biaya produksi yang lebih mahal. Maklumlah, nilai tukar rupiah terus terdepresiasi, hingga menembus Rp 12.000 per dolar Amerika.

Sedangkan perusahaan yang berorientasi ekspor menderita penurunan permintaan. "Tapi sikap hati-hati kami bukan berarti kami akan menyetop sama sekali penyaluran kredit ," tegas Sofyan. Untuk menjaga kualitas kredit tetap bagus, BRI akan memperbesar penyaluran kredit ke sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie