BRICS Menyiapkan Alternatif Mata Uang Penantang Dollar AS



KONTAN.CO.ID - LONDON. Presiden Rusia Vladimir Putin tersenyum lebar di kota Kazan, Rusia. Kota ini jadi tempat BRICS Summit yang dihadiri Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan, juga dihadiri anggota baru, seperti Mesir, Ethiopia, Iran serta Uni Emirat Arab.

Presiden Rusia Vladimir Putin sempat membuat heboh lantaran terlihat memegang uang kertas yang terlihat mencantumkan bendera-bendera negara anggota BRICS. Bendera Indonesia termasuk yang ditampilkan di uang tersebut.

Ini memunculkan spekulasi, mata uang BRIS siap meluncur. Apalagi, negara-negara anggota BRICS memang kerap mengungkapkan rencana memiliki mata uang sendiri untuk mengurangi ketergantungan terhadap dollar Amerika Serikat (AS).


Baca Juga: With Green Camo and Combat Boots, Indonesia's New Cabinet Kicks Off Army Retreat

Namun, pejabat pemerintah Rusia langsung menepis isu mata uang baru tersebut. "Mata uang yang dipegang Presiden Putin hanya tiruan mata uang BRICS yang diberikan penggemar di puncak pertemuan di Kazan dan bukan uang kertas BRICS yang diadopsi secara resmi," menurut seorang pejabat Rusia, seperti ditulis Financial Express Online, kemarin.

Dalam pertemuan yang digelar pada 22-24 Oktober lalu, para petinggi negara BRICS baru sebatas menegaskan komitmen untuk memperkuat kerjasama finansial dan memperluas penggunaan mata uang lokal, demi meningkatkan stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan.

Para petinggi negara BRICS juga menegaskan, adopsi mata uang lokal dalam transaksi perdagangan dan keuangan sangat penting untuk menghindari risiko mata uang serta memitigasi risiko ekonomi eksternal.

BRICS masih sulit merilis mata uang sendiri antara lain karena ada banyak risiko akibat ketidakseimbangan skala ekonomi negara anggota. "BRICS mungkin dapat membangun sistem transfer uang yang pada tingkat rendah akan berfungsi tetapi kemungkinan besar tidak akan mengubah arah pasar valas," kata Mario Holzner, Direktur Eksekutif Institut Studi Ekonomi Internasional Wina dikutip Reuters.  

Editor: Avanty Nurdiana