KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia membutuhkan dua hingga tiga bank syariah besar agar tercipta sebuah arena persaingan industri yang sehat. Dengan begitu, perbankan syariah Tanah Air bisa tumbuh lebih lincah menggarap potensi pasarnya yang sangat besar sebagai negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia. Itulah yang selalu ditekankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam setiap kesempatan. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Dian Ediana Rae mengungkapkan, kehadiran bank syariah besar baru sangat penting karena saat ini baru ada satu bank syariah besar di Indonesia. Namun, OJK tak ingin menempuh jalur pemaksaan untuk mencapai cita-cita itu. Melainkan membuat sebuah peta Konsolidasi yang bisa diadopsi bank-bank yang memiliki bisnis syariah. Jadi, tak cukup hanya mendorong perbankan melakukan pemisahan atau
spin-off unit usaha syariah (UUS) mereka. Tetapi, UUS yang sudah jadi badan usaha syariah (UUS) pun perlu melakukan kondolidasi untuk menghasilkan satu entitas yang lebih besar lagi.
“Bank-bank syariah sekarang kecil-kecil, sehingga gak akan nendang. OJK menginginkan adanya bank-bank syariah sekelas BSI yang bisa terbentuk melalui merger. Ini sesuai juga dengan mandat UU P2SK kalau
spin-off bisa dimintakan sekaligus konsolidasi. Sehingga, OJK telah membuat desain konsolidasi,” kata Dian, belum lama ini.
Baca Juga: BTN Syariah Tumbuh Merekah Senada, Pengamat Ekonomi Syariah dari Universitas Indonesia, Yusuf Wibisono menilai perlu ada beberapa bank syariah besar di Indonesia, tak boleh hanya ada satu bank besar. Dengan begitu, aspek perlindungan konsumen bisa terjaga dan industri pun tak timpang. Dia juga mengapresiasi langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan aturan yang mewajibkan bank dan lembaga jasa keuangan konvensional untuk memisahkan UUS mereka. Menurutnya, kebijakan itu akan jadi suplemen dalam mengembangkan industri perbankan dan keuangan syariah. PT Bank Tabungan Negara Tbk sangat siap untuk mewujudkan cita-cita regulator tersebut. Bank pelat merah ini memiliki peluang memperkuat unit usaha syariahnya tau BTN Syariah untuk bertransformasi menjadi bank umum syariah besar di Indonesia. Pertumbuhan pesat kinerja BTN Syariah dalam beberapa tahun terakhir menguatkan alasan BTN untuk segera menyapih unit usahanya itu. Sejak November 2023, aset BTN Syariah sudah tembus Rp 50 triliun. Hingga akhir 2023, nilai meningkat lagi menjadi Rp 54,3 triliun, tumbuh 19,7% secara tahunan (
year on year/YoY).
Sesuai Peraturan OJK (POJK) 12/2023, bank konvensional wakil memisahkan UUSnya dengan modal minimum Rp 1 triliun dengan syarat aset UUS tersebut sudah lebih dari Rp 50 triliun atau berkontribusi lebih dari 50% terhadap total aset induknya.
Spin-off harus dilakukan paling lambat dua tahun setelah salah satu dari syarat itu dipenuhi. Sehingga mengacu pada aturan itu, BTN wajib segera menyapih BTN Syariah menjadi BUS. Namun, membangun dan mengembangkan BUS sehingga skalanya memenuhi ekspektasi regulator tentu tidak mudah dan butuh waktu lama. Sehingga, manajemen BTN melihat bahwa cara paling realistis untuk menyapih BTN Syariah adalah dengan mengakuisisi BUS yang sudah ada. “Saat ini, kami sedang melakukan proses uji tunas (
due diligence) terhadap salah satu bank syariah,” ungkap Direktur Utama BTN, Nixon L.P Napitupulu saat paparan kinerja BTN 2023, Senin (12/2).Nixon tak mengungkap identitas bank syariah yang akan diakuisisi tersebut. Sebelumnya sudah ramai diberitakan bahwa bank yang diincar adalah Bank Mualamat. Nixon mengatakan, ada empat aspek yang sedang dikalkulasikan BTN dalam proses uji tuntas itu, yakni aspek keuangan dan portofolio, legalitas, audit teknologi, dan aspek Sumber Daya Manusia (SDM). BTN menargetkan proses uji tuntas itu bisa rampung pada April 2024. Proses ini akan menentukan kelanjutan dari agenda akuisisi dan merger itu. Sementara Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebelumnya menargetkan aksi korporasi itu bisa dituntaskan pada paruh pertama 2024 ini.
Siap Perkuat Perbankan Syariah Nasional
Setelah merger dan menjadi BUS, Nixon optimistis, BTN Syariah akan tumbuh lebih pesat lagi dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat, serta berkontribusi besar untuk memajukan industri perbankan syariah nasional. Jika merger BTN Syariah dan Bank Muamalat terealisasi, maka tentu akan menghasilkan satu bank syariah besar. Bank Mualamat tercatat memiliki aset sebesar Rp 66,19 triliun per September 2023. Artinya, aset gabungan keduanya mencapai lebih dari Rp 120,5 triliun hingga akhir 2023. Kehadiran bank syariah penggabungan itu bakal membuat persaingan industri perbankan syariah lebih sehat. Sinergi itu akan menciptakan potensi bisnis yang lebih besar lagi di segmen pembiayaan perumahan yang menjadi keahlian BTN Syariah, serta bisnis ritel lain dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi keahlian Bank Muamalat.
Baca Juga: Permintaan KPR Syariah Melonjak, BTN Syariah Meraup Berkah Nixon mengatakan, KPR BTN Syariah semakin diminati masyarakat sehingga mendorong pertumbuhan pembiayaan BTN syariah dari tahun ke tahun. Hingga akhir 2023, pembiayaan UUS ini mencapai Rp 37,11 triliun, tumbuh 17,4% secara tahunan. Lonjakan bisnis BTN Syariah dipicu oleh tren di masyarakat yang menginginkan pembiayaan rumah dengan akad syariah. Selain itu, KPR syariah diminati karena skema pembiayaannya memberikan rasa tenang dan nyaman pada nasabah. Pada KPR syariah, imbal hasil maupun besaran angsuran sudah ditetapkan sejak awal dan berlangsung sepanjang periode perjanjian. “Skema ini bisa melindungi nasabah dari risiko fluktuasi suku bunga yang dapat berubah mengikuti kondisi makro ekonomi.” jelas Nixon. Secara keseluruhan, potensi pertumbuhan perbankan syariah memang masih besar. Menurut data OJK, total aset perbankan syariah mencapai Rp 831,95 triliun per September 2023, tumbuh 10,94% YoY. Namun, pangsa pasarnya terhadap perbankan nasional baru 7,27%.
Pembiayaan perbankan syariah per September 2023 mencapai Rp 564,37 triliun atau tumbuh sebesar 14,66 % dan Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai Rp 637,63 triliun dengan pertumbuhan 9,26 %. OJK menilai pertumbuhan tersebut mencerminkan bahwa kepercayaan masyarakat yang semakin kuat terhadap layanan keuangan syariah. Saat ini, ada 13 bank umum syariah dan 20 UUS yang beroperasi di Indonesia. Sebanyak 11 BUS dan 17 UUS tercatat memiliki aset di bawah Rp 40 triliun.
Potensi Besar Pembiayaan Perumahan
Secara organik, pertumbuhan bisnis BTN Syariah sangat pesat. Asetnya dałam lima tahun terakhir telah meningkat 91,2%. Jumlah aset pada 2019 baru Rp 28,38 triliun dan pada 2023 sudah mencapai Rp 54,3 triliun. Jika ditambah dengan ekspansi anorganik lewat jalur merger, maka potensi pertumbuhan aset BTN Syariah setelah jadi BUS bisa lebih kencang lagi. Pertumbuhan aset itu tak lepas dari pembiayaan perumahan yang cukup ekspansif. Tahun 2023, pembiayaan BTN Syariah mencapai Rp 37,11 triliun, tumbuh 17,4% dari tahun sebelumnya. Namun, sudah meningkat 57,17% dalam lima tahun terakhir dari Rp 23,61 triliun pada 2019. Kualitas pembiayaan tersebut terjaga baik dengan rasio pembiayaan bermasalah (NPF) ada di level 2,4% pada Desember 2023.
Pembiayaan BTN Syariah pada 2023 didominasi oleh KPR Syariah, mencapai Rp 34,5 triliun atau tumbuh 19,2% secara tahunan. Porsinya 93,2% dari total portofolio pembiayaan. Dalam lima tahun terakhir KPR Syariah terhitung tumbuh 77,8%, jauh melampaui pertumbuhan total KPR BTN yakni 34,53% dalam lima tahun. Pertumbuhan pembiayaan BTN Syariah juga diimbangi dengan kenaikan dana pihak ketiga (DPK). UUS ini mengumpulkan DPK senilai Rp 41,8 triliun pada akhir 2023, melesat 41,8% secara tahunan. Separuhnya merupakan dana murah. “Rasio dana murah terus kami tingkatkan selama lima tahun terakhir, dari hanya 37% pada 2019 menjadi 50% pada 2023. Dampak positifnya, rasio biaya dana berhasil kami tekan dari 6,25% menjadi 3,72% pada kurun waktu yang sama. Artinya, kami bukan hanya menjadi lebih kompetitif juga semakin sehat,” kata Nixon, Senin (12/2). Jumlah DPK yang lebih tinggi dari nilai pembiayaan membuat
Finance to Deposit Rasio (FDR)BTN Syariah berada di level 88,8%. Rasio ini menunjukkan dua hal. Pertama. manajemen mampu mengoptimalkan fungsi intermediasi. Kedua, manajemen berhasil menjaga kecukupan likuiditas di saat melakukan ekspansi. Selama lima tahun terakhir, BTN Syariah terus memperbaiki angka FDR. Pada 2019 rasio intermediasi sempat mencapai 108%, lalu berhasil diturunkan menjadi 105%, 94%, 91% dan terakhir 88% pada 2023. Berbagai pencapaian itu berdampak signifikan ke perolehan laba bersih BTN Syariah. Tahun lalu, UUS ini membukukan net profit sebesar Rp 702,3 miliar, atau melonjak 110,5% dibandingkan perolehan laba bersih tahun sebelumnya sebesar Rp 333,6 miliar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dina Hutauruk