Budidaya Opium di Myanmar Berkembang Pesat Selama Militer Berkuasa



KONTAN.CO.ID - BANGKOK. Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) pada hari Kamis (26/1) merilis laporan terbaru terkait budidaya opium di Myanmar selama satu tahun terakhir. Produksi opium di Myanmar menunjukkan perkembangan pesat sejak militer berkuasa.

Mengutip AP News, UNODC mencatat bahwa di tahun 2022 area budidaya opium mengalami peningkatan 33% menjadi 40.100 hektar. Bisnis di sektor itu pun diperkirakan bernilai antara US$600 juta sampai US$2 miliar.

Angkanya bergantung pada berapa banyak yang dijual secara lokal dan berapa banyak opium mentah yang diproses menjadi heroin atau obat lain.


"Gangguan ekonomi, keamanan, dan tata kelola yang mengikuti pengambilalihan militer pada Februari 2021 telah menyatu. Petani di daerah terpencil yang rawan konflik di Shan utara dan negara bagian perbatasan hanya memiliki sedikit pilihan selain kembali ke opium," ungkap perwakilan regional UNODC, Jeremy Douglas.

Baca Juga: WHO Perluas Investigasi Terkait Kematian Anak Akibat Konsumsi Obat Batuk Sirup

Lebih lanjut, Douglas menyebut bahwa hampir semua heroin yang dilaporkan di Asia Timur, Asia Tenggara, dan Australia berasal dari Myanmar, membuatnya jadi produsen opium dan heroin terbesar kedua di dunia setelah Afghanistan.

"Ekspansi yang sedang berlangsung di Myanmar tidak boleh diabaikan dan perlu diperhatikan karena kemungkinan akan terus berlanjut. Ini terkait langsung dengan situasi keamanan dan ekonomi yang kita saksikan saat ini," lanjutnya.

Kawasan Segitiga Emas

Kawasan Segitiga Emas yang mencakup Myanmar, Laos, dan Thailand secara historis merupakan area produksi utama opium dan menampung banyak laboratorium pengolahan heroin.

Ketidakstabilan politik telah membuat wilayah perbatasan Myanmar, yang sebagian besar tanpa hukum, dieksploitasi oleh produsen dan pengedar narkoba.

Sebagian besar opium yang diekspor oleh Myanmar pergi ke China dan Vietnam, sementara heroin pergi ke banyak negara di kawasan Asia Tenggara.

Laporan terbaru UNODC menunjukkan bahwa produksi opium sempat mencapai titik terendah pada tahun 2020, yaitu sebesar 440 ton. Jumlahnya kemudia melonjak drastis di tahun 2022 menjadi sekitar 870 ton.

Baca Juga: Aung San Suu Kyi Divonis Tujuh Tahun Penjara atas Lima Tuduhan Korupsi

Sejak militer mengambil alih kekuasaan, serangkaian konflik antara warga sipil dan aparat keamanan terus muncul. Di saat yang sama, semakin banyak penduduk di pedesaan terpaksa mengandalkan penanaman opium untuk mendapatkan penghasilan.

"Peningkatan produksi opium yang sedang berlangsung pada dasarnya berhubungan dengan kemiskinan dan respons orang-orang di desa terhadap situasi ekonomi," kata Douglas.

Kondisi ini juga menyebabkan bisnis narkoba tumbuh karena aparat terlalu sibuk menghadapi protes penduduk anti-kudeta. Peredarannya di kawasan pun semakin subur. Penyitaan metamfetamin dan obat-obatan lainnya mencapai tingkat rekor selama akhir tahun.