Budidayanya murah, panennya memberi fulus wah (1)



Kebutuhan ulat hongkong untuk pakan hewan cukup besar. Sayangnya, budidaya ulat yang juga dikenal dengan sebutan meal worm ini masih terbatas. Mayoritas peternak ulat hongkong berdomisili di daerah Jawa Timur.

Hari Wibowo, peternak ulat hongkong di Wajak, Jawa Timur mengatakan, budidaya ulat hongkong masih terpusat di Jawa Timur saja. "Padahal peluang bisnis budidaya ulat hongkong sangat besar," katanya.

Menurut Hari, pemanfaatan   ulat hongkong sebagai pakan hewan tertentu sudah dimulai sejak 2009. Pada saat itulah dia mulai membudidayakan ulat hongkong.


Hari menuturkan, ulat hongkong memiliki kandungan protein sekitar 62%. Dengan kandungan yang tinggi, ulat hongkong menjadi alternatif pakan yang disukai para peternak burung, udang windu, ikan koi, arowana, bahkan landak mini.  "Hingga 70% produksi ulat hongkong kami dipakai untuk pakan burung, terutama burung kicau," kata dia.

Awalnya, Hari ingin mengekspor ulat hongkong. Pasalnya, kebutuhan ulat hongkong di luar negeri sangat tinggi. Bahkan, beberapa restoran di Eropa dan Amerika menyajikan menu ulat hongkong goreng.

Akan tetapi, karena dana terbatas, walaupun permintaannya sangat tinggi, produksi ulat hongkong Hari hanya bisa memenuhi permintaan di Jawa Timur dan Bali.

Hari memiliki empat kandang berukuran masing-masing 10 meter (m) x 20 m. Setiap kandang menampung sekitar 400 kotak yang terbuat dari papan. Kotak-kotak tersebut diisi sekitar 3 kilogram (kg) ulat hongkong. Setiap kandang bisa menghasilkan hingga 100 kg ulat setiap panen.

Harga ulat ini dibanderol Rp 30.000 per kg. Dalam sebulan Hari bisa menjual sebanyak 8 ton dengan omzet mencapai Rp 240 juta. Adapun laba bersihnya bisa mencapai 70%.

Usaha budidaya ulat hongkong juga ditekuni Jefri  di Malang, Jawa Timur. Ia memanfaatkan sebagian ruangan rumahnya sebagai tempat budidaya. Aktivitas ini sudah ditekuninya sejak tahun 2007.  "Cara budidayanya sederhana, tidak perlu tenaga dan modal yang besar karena yang diperlukan hanya ketelatenan," ungkapnya.

Untuk memulai usaha ini, cukup menyiapkan kandang dan bibit serangga. Menurut Jefri, ulat hongkong merupakan larva dari serangga yang bernama latin tenebrio molitor. Serangga ini merupakan hama pada biji-bijian atau serelia. "Saya bisa memproduksi 10 ton ulat hongkong setiap bulannya," kata Jefri.

Selama ini, Jefri memasarkan ulat hongkong ke sejumlah pedagang pengumpul (pengepul) di Malang, Jakarta, dan Kalimantan Timur. Ia mengaku, omzetnya dari usaha ini mencapai Rp 75 juta sebulan.        (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri